Mubadalah.id – Suami idaman pada umumnya lebih banyak dikaitkan dengan fungsi suami sebagai pemimpin, pemberi nafkah lahir dan batin, serta menjadi penanggungjawab keluarga. Ini tentu tidak salah.
Namun uraian ikutannya seringkali salah kaprah dan menyulut ketidakadilan. Yakni ketika sebagai pemimpin suami orang-orang pahami sebagai satu-satunya penentu arah, tindakan dan pilihan hidup istri. Sehingga sang istri tidak memiliki hak apapun bahkan atas hidupnya sendiri dan kehidupannya sebagai pribadi dan mahluk sosial.
Begitu menikah, maka suami telah “memiliki” seluruh raga, jiwa dan bahkan kehendak istri. Citra suami sebagai pemimpin yang mengayomi, memahami dan melayani keluarga tidak muncul dalam rumusan tersebut.
Ironisnya citra “suami idaman” yang sedemikian macho, kaku dan lebih merepresentasikan hubungan majikan-bawahan dari pada hubungan mitra sejajar ini dalam kenyataanya masih banyak orang-orang ikuti dan praktikkan.
Lebih ironis lagi, sebagian laki-laki menikmati pola relasi yang demikian sebagai “anugerah Tuhan”. Dan perempuan – karena keterbatasan pengetahuannya – menganggap bahwa pola relasi yang tidak adil itu “suratan takdir”.
Benarkah relasi yang timpang itu ajaran Islam? Tentu saja tidak! sama seperti citra “istri ideal”, citra suami idaman yang berkeadilan juga perlu kita rumuskan dengan mendengar suara perempuan.
Sebab, tidak mungkin kondisi “makruf” (benar secara syar’i, sesuai akal sehat dan patut secara sosial) tercapai jika hanya berdasarkan pada apa yang laki-laki inginkan dengan mengabaikan apa yang perempuan harapkan dan pikirkan. []