Mubadalah.id – Jika merujuk pandang fikih, buruh (ajir) dibagi dalam dua bagian, yaitu ajir khas dan ajir am. Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikan ajir khas dan ajir am sebagai berikut:
“Ajir khas adalah orang yang dipekerjakan dengan waktu yang diketahui agar bekerja dalam waktu yang sudah disepakati”.
“Ajir musytarak adalah orang yang bekerja untuk banyak orang dan mereka semua yang membeli jasanya, seperti pencelup kain, penjahit, tukang besi, tukang kayu, dan tukang setrika.”
Perbedaan menyolok antara ajir khas dan am terletak pada masalah “majikan”. Dalam ajir khas, mereka cenderung pada posisikan sebagai buruh yang bekerja hanya pada satu majikan.
Di samping itu, selama rentang waktu yang sudah disepakati, ajir khas tidak diperbolehkan bekerja pada orang lain. Meski hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama fikih.
Berbeda halnya dengan ajir am, buruh atau pekerja dalam konteks ini lebih longgar, dengan kata lain diperbolehkan bekerja pada orang lain selama jam atau tugasnya sudah diselesaikan dengan baik, meski hal ini pun masih debatable di kalangan ahli fikih.
Manusia Terhormat
Jika dipandang dari aspek sosial Islam, buruh merupakan bagian dari alam yang berwujud manusia. Pada sisi ini, manusia adalah obyek penghormatan dari Allah SWT.
Setiap manusia dengan separangkat sifatnya, sama-sama mendapatkan penghormatan dari Allah SWT. Meskipun berbeda warna kulit, etnis, ras, daerah, dan nasabnya. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman. Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl ayat 97)
Ayat tersebut menjadi tolok ukur bahwa Islam selalu menempatkan manusia dalam posisi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, bangsa dan suku.
Begitu juga dalam perburuhan, Islam menempatkan posisi majikan dan buruh dalam kedudukan yang setara, tidak membeda-bedakan satu sama lainnya. []