Mubadalah.id – Perubahan iklim saat ini telah menjadi salah satu ancaman global yang serius bagi kehidupan manusia. Berbagai dampak perubahan iklim mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan daerah di dunia. Pengaruhnya ini kerap tidak terasa oleh kelompok rumah tangga masyarakat miskin. Namun perubahan iklim teryata membawa ancaman khusus terhadap ketahanan hidup perempuan.
Dalam penjelasan sebuah tulisan, kerusakan ekologi yang juga terpicu oleh adanya perubahan iklim, telah menimbulkan dampak yang serius terhadap kehidupan sehari-hari perempuan dan juga anak-anak. Seperti krisis pangan dan air bersih merupakan ancaman nyata yang kini mulai banyak dirasakan pengaruhnya, khususnya oleh perempuan dan anak-anak. Tentu hal itu sudah banyak bukti yang memperlihatkan bagaimana dampak perubahan iklim memiliki keterkaitan dengan isu gender dan kerentanan perempuan.
Perempuan dan Anak Kelompok Rentan Bencana
Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Misalnya ketika terjadi kemarau panjang, perempuan dan anak perempuan biasanya menjadi pengumpul air dan bahan bakar, mencari makanan ternak, serta menyiapkan pangan untuk keluarga.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political Science di 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002, menemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam pun berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan akan gender gap di masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan merupakan korban terbesar dari berbagai bencana alam yang terjadi. Akibatnya, terjadi peningkatan angka kemiskinan di kalangan perempuan, dan semakin terbukanya jurang ketidaksetaraan gender, karena perempuan harus menanggung beban tanggung jawab ganda yang lebih berat daripada laki-laki.
Kasus tsunami di Banda Aceh misalnya. Korban dari pihak perempuan mencapai sekitar 55-70 %, dan terbanyak di Desa Kuala Cangkoy (Aceh Utara) yaitu sekitar 80 %. Kasus lainnya ketika terjadi badai di Honduras dan gelombang panas di Perancis pada tahun 2003 lalu. Serta bencana Katrina di Amerika Serikat tahun 2005, dari bencana tersebut korban terbesar tercatat dari kalangan perempuan.
Krisis Pengan dan Pengaruh Dampak Perubahan Iklim
Dalam penelitian Oxfam Canada, krisis pangan telah meningkatkan angka malnutrisi pada anak-anak serta angka kematian ibu dan anak. Sementara krisis air bersih juga berkontribusi terhadap angka kematian anak-anak sebesar 34.6 persen di negara-negara yang termasuk dalam kelompok dunia ketiga. Sekitar 5 juta anak setiap tahunnya meninggal karena penyakit diare sebab krisis air bersih tersebut.
Selain itu, perempuan pedesaan juga memikul tanggung jawab sebagai pengelola pertanian untuk kebutuhan konsumsi pangan bagi keluarganya. Di dalam perubahan iklim yang sulit dan serba tidak menentu, mereka harus menghadapi sumber daya alam yang makin terbatas dan beban kerja yang lebih berat. Konsekuensi dari lamanya waktu dan beban kerja yang lebih berat bagi perempuan dan anak-anak sangat beragam. Sehingga berakibat pula pada berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan serta pangan.
Sektor-sektor ini rentan ikut terdampak dari perubahan iklim, sehingga situasi ini semakin menambah beban perempuan dari rumah tangga yang miskin, karena mereka sangat tergantung pada sumber daya alam lokal untuk menopang kehidupan keluarganya.
Melansir data dari Serikat Petani Indonesia memperlihatkan bahwa sekitar 70-80 % pekerja di sektor pertanian adalah perempuan, sementara pada tahun 2007 sekitar 6,676 hektar areal pertanian gagal panen karena bencana banjir. Maka dari itu kelompok pekerja petani perempuan adalah pihak yang paling berat terimbas dampak banjir.
Berdasarkan pemaparan di atas tersebut maka jelas terlihat bahwa perempuan memperoleh beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Terutama dalam menanggung dampak terjadinya perubahan iklim. Selain itu perempuan merupakan kelompok masyarakat yang mayoritas memiliki sumber daya terbatas. Karena selain lebih miskin, perempuan juga memiliki pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dengan kondisi yang demikian kapasitas untuk bertahan menghadapi dampak perubahan iklim juga menjadi terbatas.
Strategi Bertahan Hidup Menghadapi Perubahan Iklim
Pemaparan temuan dari basil studi PPK LIPI di Lamongan dan Lombok menyebutkan bahwa perempuan menanggung beban yang paling berat, dan yang paling menderita akibat dampak perubahan iklim. Namun sebenarnya perempuan juga mempunyai kemampuan tinggi untuk berjuang mempertahankan hidup, agar rumah tangganya tetap dapat bertahan. Yakni ketika terjadi penurunan pendapatan rumah tangga yang signifikam akibat pengaruh dari perubahan iklim.
Pada saat perubahan variabilitas iklim terjadi menyebabkan pekerjaan nelayan terganggu. Hal itu berdampak terhadap menurunnya kondisi ekonomi rumah tangga, perempuan ikut mengambil peran untuk ikut menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Yakni dengan tetap bertahan di tempat tinggalnya, di samping ia tetap mengurus rumah tangga.
Kasus di atas menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup yang cukup tinggi di tengah terjadinya perubahan iklim. Pada saat kondisi ekonomi rumah tangga mengalami penurunan, akibat dampak perubahan iklim yang tertandai dengan berkurangnya pendapatan suami sebagai pencari nafkah utama. Maka perempuan bisa mengambil peran untuk membantu suami mencari penghasilan rumah tangga.
Selain itu perempuan akan mampu bertahan menghadapi krisis iklim dengan menambah kualitas diri dengan meningkatkan Pendidikan. Lalu menempatkan diri sebagai aktor utama dalam menjaga keseimbangan alam. Seperti perempuan terlibat dalam penentuan kebijakan negara yang ramah dan aman bagi kehidupan perempuan dan anak. Karena perempuan dan anak adalah yang paling merasakan dari adanya dampak iklim tersebut, maka ialah yang mampu menjaga keseimbangan alam. []