• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

Kasus ini harus menjadi pengingat bahwa negara tidak boleh absen dalam menjamin perlindungan sosial, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, perempuan, dan warga miskin.

Shobihah Mustahdiyah Shobihah Mustahdiyah
15/05/2025
in Publik
0
Nenek SA

Nenek SA

940
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, media sosial ramai memperbincangkan sebuah video yang memperlihatkan seorang nenek berlumuran darah di pasar. Wajahnya penuh luka, darah menetes dari jilbab dan pakaiannya. Nenek itu, berinisial SA (67), dianiaya karena dituduh mencuri lima kilogram bawang di Pasar Mangu, Boyolali, Jawa Tengah.

Menurut pemberitaan yang beredar, SA adalah warga Polanharjo, Klaten, yang sehari-harinya menjajakan sayur dan gorengan keliling. Kamis pagi itu, ia datang ke pasar dan dituduh mencuri.

Ia kemudian dikejar, diamankan di pos keamanan pasar, dan dianiaya oleh dua petugas keamanan hingga harus dirawat di rumah sakit. Kepalanya dijahit di tiga titik dan wajahnya mengalami memar serius.

Kekerasan itu tentu mengejutkan. Namun yang lebih mengusik hati adalah fakta bahwa tindakan main hakim sendiri masih terjadi di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip hukum dan kemanusiaan.

Negara Hukum dan Pelanggaran Ganda

Kita semua sepakat bahwa mencuri adalah tindakan yang melanggar hukum. Namun, menghukum seseorang tanpa proses hukum yang adil adalah pelanggaran lain yang tak kalah serius. Indonesia adalah negara hukum. Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Baca Juga:

Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan

Bagaimana Hukum Aborsi Akibat Perzinaan?

Bagaimana Hukum Fikih soal Tingginya Angka Kematian Ibu Akibat Aborsi Tak Aman?

Perdebatan tentang Hukum Aborsi

Ironisnya, korban kekerasan dalam kasus ini justru adalah seorang perempuan lansia yang tidak hanya rentan secara fisik, tetapi juga berada dalam posisi ekonomi yang sulit. Alih-alih mendapat perlindungan, ia menjadi korban dari sistem yang gagal melindunginya.

Tindakan kekerasan seperti ini melanggar Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan seharusnya diproses hukum sebagaimana mestinya. Kekerasan tidak boleh menjadi alat penghukuman, apa pun alasannya.

Kemiskinan yang Memaksa, Sistem yang Lalai

Dilansir dari Tribunnews.com, SA nekat mencuri karena kondisi ekonomi yang terdesak dan beban utang yang menumpuk. Kita tentu tidak sedang membenarkan pencurian. Namun, ini seharusnya membuka mata kita bahwa kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar yang belum ditangani dengan serius.

Kasus SA bukan sekadar insiden pencurian, tetapi refleksi dari ketimpangan sosial yang menganga lebar. Ketika warga miskin mengambil beberapa kilo bawang karena lapar, mereka dihukum secara brutal. Namun, para koruptor yang menilap uang negara dalam jumlah besar justru bisa duduk nyaman di ruang tahanan berfasilitas.

Kita melihat di sini sebuah ketidakadilan struktural yang melukai rasa keadilan publik, dan semakin memperbesar jurang antara yang lemah dan yang berkuasa.

Peristiwa ini juga menyingkap masalah sosial yang lebih luas: menurunnya empati di tengah masyarakat. Kita hidup dalam lingkungan sosial yang semakin keras, penuh tekanan, dan mudah tersulut emosi. Nilai-nilai luhur yang dahulu melekat kuat dalam budaya kita seperti tenggang rasa, gotong royong, dan hormat kepada orang tua perlahan mulai terkikis.

Kekerasan tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia lahir dari tekanan ekonomi, sosial, dan psikologis yang menumpuk. Namun justru dalam kondisi sulit, solidaritas sosial seharusnya menjadi kekuatan, bukan kekejaman.

Saatnya Negara Hadir dan Bertindak

Kasus ini harus menjadi pengingat bahwa negara tidak boleh absen dalam menjamin perlindungan sosial, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, perempuan, dan warga miskin. Bantuan ekonomi, akses kesehatan, dan edukasi hukum harus menyentuh hingga ke tingkat paling bawah.

Pemerintah daerah dan pusat perlu memperkuat sistem perlindungan sosial agar kasus serupa tidak terulang. Di sisi lain, aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan. Tidak boleh ada pembiaran atas pelanggaran hukum, termasuk yang melakukannya atas nama “keamanan”.

Nenek SA bukan hanya korban penganiayaan. Ia adalah simbol dari banyak warga kecil yang terhimpit sistem dan negara lupakan. Ia adalah potret buram kemanusiaan kita hari ini—yang berdarah di tengah pasar, menjadi tontonan publik, dan belum tentu mendapat keadilan. Kita tidak hanya butuh hukum yang adil. Kita butuh empati yang hidup. []

Tags: hukumlemahMelindungiNenek SA
Shobihah Mustahdiyah

Shobihah Mustahdiyah

Saya adalah mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID