Mubadalah.id – Salah satu tindakan penistaan atas kemanusiaan yang mendapat perhatian cukup besar pada masa Rasul Muhammad SAW adalah penistaan terhadap perempuan. Masyarakat Arab Jahiliyah menganut sistem patriarki (al-abawi) yang sangat kuat.
Sistem ini menempatkan lelaki sebagai pemegang otoritas utama, sentral, dan kadang tunggal. Sementara perempuan dipinggirkan, diperlakukan tidak penting, bahkan dianggap tidak ada.
Masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu meragukan bahwa perempuan adalah manusia, bisa beribadah, mendapat pahala, masuk surga, dan ruhnya kekal. Sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban sebagaimana laki-laki.
Keraguan ini dijawab tegas oleh al-Qur’an bahwa perempuan adalah manusia (QS. al-Hujuraat, 49:13), bisa beribadah dan memperoleh pahala (QS. an-Nahl, 16:97), bisa masuk surga (QS. an-Nisaa’, 41:24), dan memiliki ruh kekal yang dimintai pertanggungajwaban oleh Allah SWT (QS. al-An’aam, 6:94).
Dalam sistem patriarki (al-abawi), kemanusiaan perempuan wajib mendapatkan penegasan atas dasar iman:
Pertama, perempuan bukanlah hamba laki-laki, sebab keduanya sama-sama hanya hamba Allah (QS. adz-Dzaariyaat, 51:56). Dan perempuan tidak berada di bawah laki-laki untuk selalu diperintah. Sebab keduanya sama-sama pemimpin (khalifah) di muka bumi (QS. al-Ahzaab, 33:72) dan saling menjadi penjaga/pelindung (auliyaa‘) atas lainnya. Sehingga harus kerjasama (QS. at-Taubah, 9:71).
Kedua, perempuan tidak berasal dari laki-laki seakan jadi makhluk kelas dua, sebab keduanya Allah ciptakan dari bahan dan proses yang sama (QS. al-Mu’minuun, 23:12-14). Ketiga, bukan jenis kelamin melainkan ketakwaan yang menjadi ukuran kemuliaan manusia di sisi Allah (QS. al-Hujuraat, 49:13).
Deklarasi Kemanusiaan Perempuan
Deklarasi kemanusiaan perempuan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan radikal atas kehidupan perempuan. Misalnya, larangan menjadikan perempuan sebagai hadiah, jaminan hutang, mahar, dan warisan.
Termasuk pembatasan talak yang boleh kembali (thalaaq raj’iy) dari tak terbatas menjadi hanya dua kali (QS. an-Nisaa’, 4:229). Serta poligami dari tak terbatas menjadi maksimal empat (QS. an-Nisaa’, 4:3).
Bahkan tentang pengenalan nilai baru, seperti perkawinan sebagai janji kokoh (miitsaaqan ghaliidhan, QS. an-Nisaa’, 4:21), suami-istri sebagai pasangan (zawaaj, QS. ar-Ruum, 30:21), sikap saling memperlakukan pasangan dengan baik (mu’aasyarah bil ma’ruuf, QS. an-Nisaa’, 4:19), dan bersama dalam menyelesaikan masalah (musyaawarah, QS. al-Baqarah, 2:233): serta masih banyak lainnya.
Islam bahkan menegaskan bahwa memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara adalah bagian dari keimanan kepada Allah (QS. at-Taubah, 9:71) dan perlakuan baik seorang suami kepada istrinya sebagai bagian dari ketakwaan kepada Allah. []