Mubadalah.id – Dalam salah satu pertemuan, saya pernah bertanya kepada murid, apa yang membuat mereka senang sekolah? Tentu saja saya mendapat jawaban yang beragam. Satu jawaban yang saya ingat datang dari siswi perempuan. Ia bilang ia suka bersekolah, bukan karena bakti kepada orang tua, tetapi agar membuatnya tidak harus cepat-cepat menikah.
Sejenak seisi kelas hening. Saya juga terdiam sesaat. Kok bisa, ya dia berpikiran seperti itu. Artinya mungkin ia pernah mengalami atau melihat kejadian yang serupa.
Saya bertanya kepadanya apakah ia pernah diminta menikah di usianya yang masih sangat muda. Ia menggeleng.
“Bukan saya, Bu. Kakak perempuan saya yang mengalami,” ujarnya.
Kakak perempuannya hanya lulusan SMP. Setelah lulus SMP, ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan pasangan yang juga orang tuanya pilihkan.
Saya menghela nafas panjang. Siswi perempuan itu merasa khawatir apa yang dialami kakaknya juga akan ia alami. Kepada saya dan kawan-kawannya yang ada di kelas ia bilang kalau ia takut menikah dan belum menginginkan pernikahan. Maka ia memilih untuk melanjutkan sekolah hingga SMA.
Namun, tentu saja solusi yang ia pilih baru solusi instannya. Bagaimana jika selepas SMA nanti ia orang tuanya menikahkan? Bagaimana jika ia tak bisa bersikeras memilih untuk lanjut kuliah atau bekerja terlebih dahulu?
Demi Bakti Kepada Orang Tua Abai dengan Mimpi Sendiri
Di lain kesempatan, saya juga pernah punya murid yang memiliki bakat seni. Seringkali ia menggambar komik strip di bukunya. Kadang ia membuat lukisan sederhana dengan cat air. Ia juga sering mengikuti lomba membuat poster digital. Ia mengakui amat suka melukis, menggambar, mendesain, dan apapun yang berhubungan dengan seni. Saya pun bertanya kepadanya, apakah ia ingin melanjutkan kuliah di jurusan seni atau desain.
Ia menggeleng. Ia bilang ayahnya tidak mengizinkannya. Mau jadi apa, begitu kata ayahnya. Ayahnya mendorongnya untuk kuliah di jurusan sains, yang linier dengan jurusannya di SMA.
Murid saya yang lain juga mengalami ujian yang lebih berat. Ibunya memaksa keluar dari SMA tempat ia belajar. Padahal ia diterima di sekolah favorit, ia bahagia di sana, bersaing dengan sehat bersama kawan-kawannya yang pintar. Ibunya memintanya untuk pindah ke sekolah berasrama yang memiliki program hafalan Quran. Ia tak bisa menolak perintah ibunya.
Mirisnya, ternyata ia tak mampu mengejar target dari sekolah barunya. Ia merasa kehilangan diri dia, kawan-kawannya, dan semangatnya. Seringkali ia mengeluh kepada kawan dan di sosial medianya. Ia merasa hidupnya telah direnggut oleh ibunya sendiri. Di akhir tahun, siswi ini jadi sering sakit. Badannya semakin kurus. Kesehatan mentalnya terganggu. Nilainya juga turun drastis.
Tak Bebas Memilih
Ketiga kisah di atas hanya contoh kecil dari anak yang menjadi korban ambisi orang tuanya. Bukan hanya anak usia sekolah, bahkan anak yang sudah dewasa pun tak diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya.
Kadang seorang perempuan yang sudah memasuki usia ‘menikah’ didesak orang tuanya untuk segera menikah. Biar ibu tenang, begitu kata orang tuanya. Kadang seorang anak juga tak diizinkan untuk memilih pasangan hidupnya dengan alasan pribadi dari orang tuanya. Katanya orang tua tahu apa yang terbaik untuknya.
Seringkali orang tua memaksa anak untuk menuruti apa yang mereka inginkan. Orang tua berdalih anak yang nurut orang tuanya adalah anak yang berbakti. Malaikat akan mendoakannya, dan melancarkan jalan ke depannya. Bahkan dalam bahasa dan budaya Jawa seringkali kita mendengar, ‘Wis to penak manut wong tuwo’ (Sudahlah, akan lebih mudah jika nurut orang tua).
Nampaknya pepatah ini perlu kita kaji ulang. Jika perintah yang diberikan orang tua adalah pada hal-hal dasar yang maslahat, tentu baik saja untuk diikuti. Jika orang tua memberikan petuah umum semacam harus rajin belajar, membatasi pergaulan, rajin ibadah, dan lain sebagainya tentu sudah sepantasnya anak mematuhinya.
Namun, seringkali orang tua lupa bahwa anak memiliki jiwa yang bebas dan keinginan yang berbeda dengan orang tuanya. Mereka menjadikan anak sebagai penebus akan keinginannya yang belum terkabul. Hanya karena telah melahirkan dan merawatnya, orang tua merasa berhak memilihkan jalan hidup untuk anaknya.
Adab Orang Tua terhadap Anak
Setiap kita adalah anak dari orang tua kita. Setiap anak wajib berbakti kepada orang tuanya. Hal ini sudah tercantum dalam hadist dan Al Quran.
Namun teks hadist dan Al Quran itu harusnya kita maknai secara mubadalah. Arti kata berbakti adalah berbuat baik, menghormati, dan menyayangi. Maka hal itu juga berlaku sebaliknya.
Jika seorang anak wajib berbakti, berbuat baik, menghormati, dan menyayangi orang tuanya, maka demikian juga orang tuanya. Ia juga harus berbuat baik kepada anaknya, menghormati pilihannya, dan tetap menyayanginya meski ia mengambil pilihan yang berbeda dengan yang orang tuanya inginkan.
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Al Adab fid Din ada lima adab orang tua terhadap anak-anaknya.
“Adab orang tua terhadap anak, yakni: membantu mereka berbuat baik kepada orang tua; tidak memaksa mereka berbuat kebaikan melebihi batas kemampuannya; tidak memaksakan kehendak kepada mereka di saat susah; tidak menghalangi mereka berbuat taat kepada Allah SWT; tidak membuat mereka sengsara disebabkan pendidikan yang salah.”
Apakah hanya anak saja yang durhaka kepada orang tuanya? Tentu tidak. Ada banyak orang tua yang durhaka kepada anaknya. Kita bisa mengingat salah satu riwayat pada saat kekhalifahan Umar bin Khatab. Ketika itu ada seorang anak yang diadukan ayahnya karena kenakalannya yang sudah di luar batas. Namun, setelah anak itu diberi kesempatan berbicara, ternyata ayahnyalah yang lebih dulu mendurhakai anaknya. Ayahnya tidak memperlakukan ibunya dengan baik, tidak memberi nama yang baik, dan juga tak pernah mengajarinya agama.
Dalam masyarakat kita praktik memaksakan kehendak orang tua kepada anaknya sering sekali terjadi. Para orang tua merasa berhak mengatur pilihan anaknya. Mereka berpikir merekalah yang tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Sayangnya dengan memaksakan kehendaknya itu, mereka justru menyakiti anaknya. Setiap anak memang wajib berbakti kepada orang tuanya. Namun, bakti seorang anak kepada orang tuanya tak boleh menghalangi anak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. []