Mubadalah.id – Bencana sering terasa jauh sampai suatu hari hidup kita sendiri retak dari dalam. Aku masih ingat masa ketika kesulitan, kegagalan, dan rasa tak berdaya datang hampir bersamaan, membuatku mempertanyakan banyak hal yang sebelumnya terasa jelas. Setiap malam aku merenung lama, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan batinku sendiri, tetapi justru semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Di tengah gejolak itu, aku mulai bertanya lirih, “Kalau Tuhan Maha baik, kenapa semua ini terjadi padaku?” Pertanyaan itu akhirnya membawaku pada satu teori yang kemudian menjadi judul skripsiku: teodise, yaitu usaha manusia memahami bagaimana Tuhan tetap baik ketika hidup terasa tidak baik. Sejak saat itu, teodise bukan lagi konsep akademik bagiku, ia menjadi caraku berbicara kepada Tuhan sekaligus kepada diriku sendiri.
Maka ketika hari ini kita kembali mendengar kabar tentang bencana, tentang rumah runtuh, keluarga yang kehilangan, dan hidup yang retak dalam hitungan detik, perasaan itu seperti membuka kembali folder lama di dalam hati. Aku memahami betul bagaimana sebuah peristiwa yang mengguncang dapat membuat manusia kembali mempertanyakan hal yang sama:
“Kenapa ini terjadi? Di mana Tuhan saat bumi seolah pecah? Bukankah Dia Maha Kuasa?”
Di sanalah teodise hadir, bukan sebagai teori rumit atau konsep abstrak, bukan juga sebagai tanda kurangnya iman, tetapi justru sebagai upaya manusia, kita semua, untuk tetap menemukan Tuhan di tengah puing-puing dan momen paling mengoyak dalam hidup. Ia lahir dari manusia yang sedang mencari pelukan, mencari penjelasan yang tidak menyalahkan siapapun, dan mencari ketenangan yang tidak melukai iman sendiri.
Bencana Bukan Hanya Peristiwa Alam, Bencana juga Peristiwa Rasa
Di balik tragedi bencana, kamera mungkin hanya merekam kerusakan, tetapi kita tahu hati manusia merekam luka yang jauh lebih dalam. Ada anak yang kehilangan orang tua, keluarga yang seketika tak punya rumah, atau seseorang yang duduk menatap lumpur sambil bertanya bagaimana ia akan memulai hari esok. Semua itu membentuk dimensi kemanusiaan yang sering terlupakan dalam angka-angka kerugian.
Di samping itu, teodise tidak hadir sebagai upaya membela Tuhan. Sebab Tuhan tidak perlu dibela. Aku justru membaca teodise sebagai cara manusia merawat dirinya. Kita ingin merawat iman supaya tidak patah, merawat harapan agar tidak padam, dan merawat kepercayaan bahwa dunia masih menyediakan ruang cahaya.
Tuhan Tidak Pernah Menciptakan Keburukan.
Dalam perjalanan penelilitian skripsi, aku menemukan satu jawaban penting: Tuhan tidak pernah menciptakan keburukan.
Yap, Tuhan memang menciptakan air, tapi bukan banjir. Tuhan memberi gunung, bukan letusan. Tuhan menyediakan api, bukan kebakaran. Air mengalir karena sifatnya, api membakar karena kodratnya, bumi bergerak karena hukum alam menuntunnya. Tidak ada unsur niat menyakiti di sana. Yang sering melukai justru pertemuan antara sifat alam yang konsisten dengan keterbatasan atau pilihan manusia yang kurang bijak. Iya?
Karena itu, kita perlu jujur melihat diri sendiri. Kita sering menilai hujan deras sebagai bencana karena merusak rumah, tetapi juga merayakannya ketika ingin. Api pun demikian: ia tampak sebagai musibah ketika melalap bangunan, tetapi pada saat yang sama ia menjadi sumber hangat, terang, dan kehidupan. Di titik inilah terlihat betapa mudahnya kita mengerdilkan alam, seakan-akan ia hanya untuk menuruti kepentingan manusia, padahal ia bergerak menurut ritme dan keseimbangannya sendiri.
Bencana = Ulah Manusia
Namun, tidak semua bencana murni berasal dari proses alam. Banyak bencana lahir dari pilihan manusia: pembabatan hutan, pembangunan rakus, pembetonan tanah, sistem yang memberi ruang pada korupsi, dan kebijakan yang menomorduakan keselamatan warga.
Ketika semua itu bertemu dengan hukum alam yang pasti, kita lalu menyebut hasilnya “takdir”, padahal sebagian besar lahir dari keputusan kolektif yang sebenarnya bisa kita cegah. Lucu sekali, bukan?
Meski begitu, manusia justru sering menemukan dirinya kembali di saat-saat paling gelap. Kita melihat relawan datang dari berbagai kota, warga bekerja sama membuka bantuan donasi, dan orang asing tiba-tiba berpelukan karena mereka sama-sama kehilangan sesuatu. Ada yang membawa selimut, ada yang membawa makanan, ada yang membawa doa. Dan bentuk-bentuk kecil kemanusiaan itu menggeser persepsi kita tentang kehadiran Tuhan.
Tuhan Hadir Melalui Kesalingan
Aku selalu percaya bahwa Tuhan tidak pergi ketika bencana datang. Tuhan hadir dalam orang-orang yang saling menguatkan. Tuhan hadir melalui kesalingan. Dalam air mata yang jatuh bersama pelukan, dalam langkah relawan di tengah hujan, dalam warga yang membuka rumah untuk pengungsi, semua itu menghadirkan kasih ilahi dalam bentuk yang dapat disentuh.
Setelah bencana berlalu, pekerjaan kita tidak selesai. Kita bisa membangun rumah dalam beberapa bulan, tetapi membangun hati membutuhkan waktu lebih panjang. Trauma, ketakutan, memori kehilangan, semua itu membutuhkan ruang aman. Kita perlu percakapan yang jujur, pelukan yang tidak menghakimi, doa yang tidak tergesa-gesa, serta upaya kolektif untuk memastikan seseorang tidak menanggung lukanya sendiri.
Pada akhirnya, pertanyaan besar tentang bencana dan teodise tidak mencari jawaban final. Pertanyaan itu hanya mengarahkan kita pada cara baru melihat dunia. Hidup selalu menjadi hubungan yang saling menautkan: manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia. Jika salah satu terluka, bagian lain memiliki tugas moral untuk hadir, menyembuhkan, dan memulihkan.
Maka daripada bertanya “Mengapa Tuhan membiarkan bencana terjadi?”, kita bisa menggesernya menjadi “Bagaimana kita menghadirkan kasih Tuhan melalui tindakan kita hari ini?” Perubahan kecil perspektif itu membuka ruang bagi empati yang lebih luas.
Ala kulli hal, bencana memang membawa luka, dan tidak ada satu refleksi filsafat pun yang boleh meremehkannya. Tetapi aku yakin, bencana juga membuka ruang bagi harapan. Kita bisa belajar untuk lebih peka, lebih peduli, lebih sadar bahwa hidup ini saling terhubung. Percayalah, kita tidak pernah diciptakan untuk menghadapi penderitaan sendirian.
Dan mungkin, justru di tengah reruntuhan itulah, Tuhan sedang mengajarkan sesuatu yang sangat manusiawi: dunia akan pulih ketika kita mengulurkan tangan kepada satu sama lain dengan kesalingan, kasih, dan kemanusiaan yang tidak pernah padam. []








































