Mubadalah.id – Hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki proses ketat dalam proses periwayatannya. Periwayatan hadis harus jelas sanadnya, dari siapa ke siapa, bersambung terus hingga sampai pada Nabi Muhammad. Proses itu terjadi dari zaman Nabi Muhammad hingga sekitar abad 4 sampai 7 H, saat masa terkodifikasi kutubus sittah termasuk kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Kita mungkin pernah mendengar tentang ketelitian ulama dalam periwayatan hadis adalah salah satu keunggulan Islam. Bayangkan saja, di zaman belum ada penyimpanan database teks, belum masif metode belajar dengan menulis apalagi mengetik, tetapi para ahli hadis mampu menjaga dan mencatatkan periwayatan hadis.
Hadis shahih harus memenuhi beberapa persyaratan: ketersambungan sanad, perawi ‘adil, dhabit (hafalan perawi kuat), tidak ada syadz (bertentangan dengan perawi yang lain), dan tidak ada ‘illah (cacat). Hadis yang derajatnya dhaif (lemah), atau bahkan maudhu‘ (palsu) salah satu sebabnya adalah terdapat masalah atau cacat dalam periwayatannya.
Cacat di sini ada dua macam, yaitu pertama, karena putusnya jalur periwayatannya, kedua, sebab diri perawi hadis. Nah, kali ini yuk kita ulik, cacat seperti apa yang menghalangi seseorang dalam meriwayatkan hadis?
Bolehkah Difabel Meriwayatkan Hadis?
Kredibilitas perawi menjadi kunci utama periwayatan hadis. Jejak status dan biografi perawi sampai saat ini juga bisa kita cek di kitab-kitab rijal al-hadis. Hal ini membuktikan keseriusan para ahli hadis dalam menjaga hadis Nabi menjadi salah satu pedoman bagi umat muslim hingga akhir zaman.
Syarat utama seorang perawi adalah ‘Adil dan Dhabit. Adil dalam istilah ilmu hadis maksudnya adalah perawi beragama Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan moralnya tidak rusak. Sedangkan dhabith berkaitan dengan kekuatan hafalan seorang rawi.
Kualitas hafalan ini pengaruhnya banyak sekali dalam periwayatan hadis, contohnya adalah jika perawi hafalannya buruk, maka besar kemungkinan ada kesalahan mengingat hadis riwayatnya. Atau jika hafalannya lemah, bisa jadi menyalahi atau bertentangan dengan riwayat hadis dari perawi-perawi tsiqqah (kuat) lainnya. Dari situ, kualitas hadis menjadi menurun.
Lalu, bagaimana posisi perawi penyandang disabilitas? Seperti yang kita tahu, ada dua macam disabilitas; disabilitas fisik dan disabilitas intelektual. Pada konteks disabilitas fisik, ada perawi difabel netra, tuna daksa, tuna wicara.
Sedangkan pada aspek disabilitas intelektual ada istilah ghaflah, ikhtilath, dan wahm/auham. Kesemuanya itu mungkin terjadi bagi perawi yang memiliki gangguan intelektual sehingga khawatir berpengaruh hafalan hadisnya.
Disabilitas fisik kemungkinan besar tidak mempengaruhi kredibilitas perawi hadis. Sedangkan disabilitas intelektual, jika berpengaruh pada karancuan bahkan lupanya hafalan hadis, tentu ini menciderai periwayatan hadis darinya. Tetapi sejauh ini saya belum menemukan perawi yang hafalannya terganggu karena faktor penyandang disabilitas, biasanya terjadi karena faktor usia.
Jadi, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam meriwayatkan hadis. Tentu, hak juga beserta keharuan terpenuhinya syarat dalam meriwayatkan hadis. Selama tidak mengganggu aspek adil dan dhabit, kondisi difabel bukan masalah yang berarti. Aspek yang lebih penting dari itu adalah moralnya; misal kejujuran, tidak tertuduh dusta, zina dan lain-lain.
Beberapa Perawi Difabel dalam Sejarah
Dalam sejarah periwayatan hadis, ada beberapa perawi yang memiliki kondisi disabilitas. Apresiasi terbesar patut kita berikan kepada para perawi yang sebenarnya memiliki keterbatasan tapi tidak menjadi penghalang dalam menyebarkan agama; khususnya dalam meriwayatkan hadis. Yuk, kita kenali beberapa perawi difabel!
Abdullah ibn Umi Maktum, sahabat Nabi yang terkenal karena berhubungan dengan asbabun nuzul surat ‘abasa. Beliau termasuk assabiqunal awwalun yang terkenal sebagai muazin. Abdullah ibn Umi Maktum adalah difabel netra sejak lahir tetapi sangat semangat mempelajari Islam.
Meskipun tidak banyak riwayat hadisnya, tetapi Adz-Zahabi memberikan penilaian sahabi tsiqah (sahabat yang tsiqah) pada beliau. Tsiqah adalah gelar tertinggi bagi perawi hadis. Menunjukkan perawi memenuhi syarat ‘Adil dan Dhabit.
Selain itu, dari golongan tabi’in, ada Abu Bakar ibn Abdurrahman; seorang perawi dengan gelar tsiqah. Abu Bakar ibn Abdurrahman adalah seorang difabel tunanetera yang banyak meriwayatkan hadis dari generasi sahabat. Di antaranya adlaah meriwayatkan dari ayahnya; Abdurrahman ibn Harits, meriwayatkan dari ‘Ammar ibn Yasir, ‘Aisyah, Abu Hurairah, dan lain-lain.
Kita juga perlu mengenal Atha ibn Abi Raba’ah dari golongan Tabi’in. Beliau adalah seorang difabel tunadaksa dan tunanetra pada sebelah matanya di akhir hidupnya. Di balik kondisi fisiknya tersebut, beliau tercatat sebagai seorang faqih, ‘alim, dan bergelar tsiqah. Semasa hidupnya, beliau banyak meriwayatkan hadis dari para sahabat, di antaranya adalah pada Abdullah ibn Anas dan Jabir ibn Abdullah.
Selain itu, ada Sulaiman ibn Mihran; seorang disabilitas netra yang memiliki julukan al-a’mash atau rabun. Beliau adalah seorang Imam, ahli hadis, dan syaikhul qari’ (syeikh-nya para penghafal Al-Qur’an).
Kredibilitas periwayatan beliau sampai pada tahap tsiqah serta hadis-hadisnya banyak tercatat di shahih Bukhari dan shahih Muslim. Beliau meriwayatkan hadis dari para sahabat, di antaranya adalah Said ibn Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Abu ‘Amr as-Syaibani dan lainnya. Sampai akhir hayatnya, beliau meriwayatkan sekitar seribu tiga ratus hadis.
Islam dan Inklusivitas dalam Periwayatan Hadis
Islam memandang manusia dengan setara tanpa membedakan seseorang difabel dan non difabel. Qs. Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa yang membedakan setiap manusia adalah ketaqwaannya. Artinya, kondisi fisik, mental, intelektual, bukan suatu masalah untuk mewujudkan kehidupan yang inklusif.
Begitu juga dalam dunia Islam; khususnya periwayatan hadis. Meskipun sekilas terlihat kekurangan seseorang menjadi sebab menurunnya kualitas hadis bahkan tertolak, tetapi kekurangan tersebut tidak mutlak membuat seseorang tidak boleh meriwayatkan hadis. Semua orang memiliki hak untuk berperan dalam periwayatan hadis dan disabilitas fisik bukanlah suatu hal yang dapat mencederai kredibilitas seseorang.
Kehati-hatian ulama’ hadis pada zaman dahulu adalah bentuk penjagaan agar teks hadis dapat sampai ke seluruh umat muslim di dunia dari masa ke masa, dapat terdeteksi kualitasnya dan tidak ada kerancuan atas kebenaran hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam. Kita bisa belajar bagaimana sistem periwayatan hadis pada zaman dahulu sudah mengajarkan inklusif dalam proses menyampaikan dan menerima ilmu. []