Mubadalah.id – Masyarakat sering kali menggunakan istilah yang kurang tepat ketika menyebut penyandang disabilitas. Seperti sebutan tuna atau cacat bagi penyandang disabilitas sudah lama masyarakat gunakan, Tetapi kini, banyak pihak yang mengingatkan bahwa istilah tersebut tidak lagi sesuai dan bahkan menyinggung penyandang disabilitas.
Direktur SAPDA, Nurul Sa’adah Andriani, dalam acara Akademi Mubadalah 2025 di Hotel Tara Yogyakarta (11/2), menegaskan pentingnya penggunaan istilah yang lebih inklusif dan menghormati martabat penyandang disabilitas.
Mengapa “Tuna” dan “Cacat” Tidak Dapat Diterima?
Menurut Nurul, kata “tuna” atau “cacat” mengandung konotasi negatif yang bisa merendahkan penyandang disabilitas. Kata “cacat” misalnya, mengandung arti rusak atau tidak sempurna, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan hak asasi manusia. Sementara itu, kata “tuna” dalam bahasa Indonesia berarti “kehilangan” atau “tidak memiliki”. Seakan-akan menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kekurangan daripada orang lain.
Nurul juga menyoroti pentingnya penggunaan istilah yang lebih netral dan menghormati individu. Menurutnya, masyarakat sebaiknya mulai mengganti istilah seperti “tuna rungu” atau “tuna netra” dengan “difabel rungu” dan “difabel netra”. Hal ini bertujuan untuk menegaskan bahwa penyandang disabilitas bukanlah orang yang “kurang”, tetapi hanya memiliki cara berbeda dalam menjalani kehidupan.
Mengenal Abilisme
Perilaku diskriminatif terhadap penyandang disabilitas disebut abilisme. Ini merupakan prasangka sosial yang beranggapan bahwa individu non-disabilitas lebih superior daripada individu dengan disabilitas. Abilisme bisa terjadi dalam berbagai bentuk, baik secara tersurat maupun tersirat. Contohnya adalah pembangunan fasilitas publik yang tidak ramah difabel, seperti gedung tanpa jalur khusus kursi roda.
Dalam konteks bahasa, abilisme juga muncul melalui penggunaan kata-kata yang kurang sensitive seperti istilah yang vulgar dan merendahkan sebaiknya tidak digunakan. Sebagai contoh, penyebutan “buta” untuk seseorang yang memiliki disabilitas netra dapat menyakitkan dan tidak menghormati individu tersebut.
Istilah yang Lebih Tepat
Sebagai alternatif, istilah yang lebih sopan dan netral bisa masyarakat gunakan, seperti kata Disabilitas netra (penglihatan) untuk menggantikan “tuna netra”, Disabilitas daksa (fisik) untuk menggantikan “tuna daksa”, Disabilitas grahita (intelektual) untuk menggantikan “tuna grahita” dan Disabilitas rungu (pendengaran) untuk menggantikan “tuna rungu”.
Namun demikian, penting untuk memahami bahwa tidak semua penyandang disabilitas menyukai istilah baru yang kita berikan kepada mereka. Misalnya, komunitas tuli lebih memilih menamai diri mereka dengan “Tuli”, dengan hurf “T” besar daripada “tuna rungu”. Karena istilah “tuli” memiliki makna sosial dan budaya yang lebih positif bagi mereka.
Peran Bahasa dalam Kesetaraan Sosial
Bahasa memainkan peran penting dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap suatu kelompok. Sebaliknya, bahasa mencerminkan kepribadian dan sikap seseorang terhadap orang lain. Oleh karena itu, penggunaan istilah yang lebih inklusif dan menghargai penyandang disabilitas adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah dan berbagai pihak perlu melakukan sosialisasi mengenai istilah yang lebih tepat untuk penyandang disabilitas. Selain itu, media massa juga memiliki tanggung jawab besar dalam membiasakan penggunaan istilah yang lebih tepat. Sejumlah inisiatif juga masyarakat lakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai penggunaan istilah yang lebih inklusif.
Langkah-langkah ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, perubahan dalam penggunaan bahasa yang lebih menghormati hak-hak penyandang disabilitas merupakan bagian penting dari upaya menciptakan kesetaraan di tengah masyarakat.
Mari, Hormati Penyandang Disabilitas
Penggunaan istilah “tuna” atau “cacat” dalam menyebut penyandang disabilitas sudah tidak lagi relevan. Sebagai gantinya, masyarakat bisa menggunakan istilah “difabel” atau “disabilitas” karena lebih netral dan tidak mengandung konotasi negatif. Selain itu, masyarakat perlu memahami bahwa abilisme masih sering terjadi, baik dalam bentuk bahasa maupun kebijakan publik.
Dengan membiasakan penggunaan istilah yang lebih inklusif, kita dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil dan menghormati hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mulai menggunakan istilah yang tepat dan berempati dalam berkomunikasi dengan penyandang disabilitas, agar tercipta lingkungan yang inklusif dan bebas dari diskriminasi! []