Mubadalah.id – Beberapa nabi terkenal dengan gelar tertentu, yang menyiratkan kedekatan mereka dengan Allah. Misalnya Nabi Musa, terkenal dengan gelar al-Kalim atau Kalimullah. Gelar-gelar di atas berkait erat dengan proses dakwah yang dilakukan oleh para nabi di atas. Di balik gelar al-Kalimnya Nabi Musa, ada kisah komunikasi yang istimewa antara Nabi Musa dan Allah.
Tak terkecuali Nabi Ibrahim. Nabi yang terkenal dengan berbagai kisah perjalanan dan perjuangannya dalam mengenalkan Allah ini memiliki gelar al-Khalil atau Khalilullah. Dalam bahasa Indonesia, al-Khalil atau Khalilullah dekat dengan makna sang kekasih atau kekasih Allah. Tentu tak mengherankan, Nabi Ibrahim memang pantas menyandang gelar itu. Tapi, adakah peristiwa spesifik yang melatar belakangi gelar al-Khalil Nabi Ibrahim?
Penulis, mungkin juga beberapa orang, tak sampai berpikir gelarnya Nabi Ibrahim memiliki latar belakang spesifik. Namun kemarin, ketika mengaji kitab Tafsir Munir karya Kiai Nawawi Banten dengan Kiai Manaf Plumbon, ada penjelasan menarik, yang Kiai Nawawi Banten sampaikan ketika menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 125:
…وَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا…
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.”
Gelar al-Khalil Nabi Ibrahim
Kiai Nawawi Banten mengutip dua riwayat, yang disinyalir menjadi latar belakang gelar al-Khalil Nabi Ibrahim tersebut. Riwayat yang pertama cukup panjang. Alkisah, Nabi Ibrahim mendapat gelari Abu adh-Adhaifan. Maknanya bapak para tamu, yang menyiratkan makna pelindung para tamu. Gelar tersebut tersematkan pada Nabi Ibrahim lantaran perilaku Nabi Ibrahim yang selalu menjamu orang yang lewat depan rumahnya, yang dikisahkan berada di pinggir jalan.
Suatu hari, terjadi paceklik. Masyarakat kekurangan makanan untuk mereka konsumsi. Mengetahui hal ini, Nabi Ibrahim berupaya mencarikan solusi. Nabi Ibrahim mengutus beberapa orang ke Mesir untuk menemui koleganya, yang biasa membantu Nabi Ibrahim memperoleh makanan. Di luar dugaan, ternyata di Mesir juga sedang terjadi paceklik. Kolega Nabi Ibrahim menyatakan, jika diminta membantu, itu hanya cukup untuk Nabi Ibrahim, tidak masyarakatnya.
Para utusan itu pun pulang tanpa hasil. Tapi karena malu membawa karung kosong, mereka singgah lebih dulu di daerah yang memiliki banyak kerikil. Karung-karung yang mereka bawa terisi dengan kerikil-kerikil tersebut. Setelah tiba di rumah, mereka menemui Nabi Ibrahim, dan menceritakan apa yang terjadi.
Sontak, Nabi Ibrahim pun bersedih, dan menangis sampai tertidur. Namun tak ia sangka, ketika Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim, membuka karung-karung tersebut, bukan kerikil yang mereka dapat. Kerikil-kerikil itu berubah jadi tepung berkualitas tinggi, yang telah diayak beberapa kali. Siti Sarah pun memanggil para pembuat roti, untuk memasak gandum tersebut menjadi roti, dan membagikan kepada masyarakat. Nabi Ibrahim terbangun dan mencium bau roti, dan bertanya kepada istrinya.
“Dari mana roti ini?”
“Bukankah dari sahabat Mesir Anda?”
“Bukan,” kata Nabi Ibrahim, “ini dari kekasihku (khalilli), Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan Allah pun memberi gelar kekasih (al-Khalil) pada Nabi Ibrahim.
Ibadah Sosial
Kisah ini, jika kita boleh menginterpretasikannya, membuka mata kita, yang kadang membatasi ibadah hanya pada tataran ibadah tertentu seperti salat dan puasa. Padahal, ibadah juga mencakup hal-hal yang sifatnya sosial, sebagaimana laku Nabi Ibrahim di atas. Sebenarnya, kalau merujuk kepada beberapa sabda Nabi Muhammad, hal-hal terkait agama yang sifatnya personal berkait erat dengan sosial. Misalnya, sabda Nabi Muhammad, yang mengaitkan iman kepada Allah dan hari akhir dengan memuliakan tamu dan berbuat baik pada tetangga.
Di kitab al-Munabbihat karya Syaikh Ibnu Hajr al-Asqalani, perihal perintah berbuat baik kepada sesama semakin kentara. Tak hanya kepada manusia, tapi seluruh penduduk bumi. Nabi Muhammad, dalam kitab ini, direkam memerintahkan kita untuk berbelas kasih kepada penduduk bumi, sehingga penduduk langit pun akan berbelas kasih pada kita.
Kiai Nawawi Banten, dalam memaknai hadis di atas dalam kitab Syarah Nasaihul Ibad, menyatakan bahwa hendaknya kita berusaha semampu kita untuk berbelas kasih kepada bermacam-macam ciptaan Allah. Walaupun ciptaan Allah itu tidak berakal. Bahkan, di beberapa baris di bawahnya yang tak secara langsung terkait dengan hadis ini, Kiai Nawawi Banten menyatakan bahwa seluruh perintah-perintah Allah kembali kepada dua hal. Yakni mengagungkan Allah dan berbelas kasih pada makhluk.
Artinya, meminjam bahasa Gus Mus, saleh individual hendaknya selaras dengan saleh sosial. Bukankah begitu? []