Mubadalah.id – Mengawal Rancangan Undang- Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi salah satu pembahasan isu di Forum Grup Discussion pada salah satu paralel halaqah Kebangsaan KUPI 2. Di mana penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan ini pada 24 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara.
Pembicara halaqoh tersebut adalah Ibu Luluk Nur Hamidah dari Anggora DPR RI Fraksi PKB, KH. Abdulloh Aniq Nawawi dari Gorontalo dan mas Ari Pujianto. Forum tersebut dibuka oleh bu Nyai Hindun Annisah selaku staf ahli Kemenaker RI.
Ada problem sosial kultural masyarakat kita dalam memandang pekerja rumah tangga, sebagai profesi kelas bawah. Pihak yang mempekerjakan menjadi pihak yang superior atau pemberi perintah, pihak lainnya inferior selaku pihak yang menerima perintah. Hubungan yang seharusnya terbangun secara dua arah, namun sulit terjadi. Bahkan Karl Max sudah lama membahas dalam teori sosial terkait strata sosial, yang menyebutkan profesi pekerja Rumah tangga sebagai pembantu.
Isu Pekerja Rumah Tangga Dianggap Ancaman
Isu PRT, mereka anggap akan mengganggu status quo dan muncul pihak yang mengkhawatirkan sebagai ancaman bagi dunia usaha, investor bahkan industri. Konsekuensi dari UU membuat para pekerja dapat berkumpul dan berserikat atau berorganisasi. Berkumpul secara kolektif , sehingga bisa menyuarakan pendapatnya yang dapat mengganggu ekonomi dan sosial.
Walaupun ada konvensi ILO, tapi tidak ada sangsi secara multilateral bagi negara yang belum merekognisinya. Belum terlihat ada korelasinya, bahwa melindungi PRT merupakan langkah strategis. Kondisi buruh migran kita di luar negeri misalnya, umumnya mereka pekerja di ruang domestik.
Contohnya di negara Jepang menjadi nurse atau suster, mereka juga merawat orang sakit sekaligus orang sehat. Dengan adanya undang-undang, ini sesungguhnya akan menjadi kekuatan diplomasi. Jangan sampai negara kita tidak melindungi para tenaga kerja yang berimplikasi meremehkan posisi mereka.
Pelanggaran Hak Pekerja Rumah Tangga
PRT tidak kita lihat sebagai pekerjaan penuh risiko. Faktanya PRT bekerja di ruang yang tidak baik-baik saja. PRT kita bekerja di ruang-ruang privat dan tertutup. Meski korban kekerasan telah di-blow up media, namun kasus yang tidak terlaporkan lebih banyak.
Pelanggaran dianggap hal-hal wajar, misalnya gaji tidak terbayar, hak-haknya tidak terpenuhi, PHK secara sepihak. Pekerjaan eksploitatif bagi PRT yang menginap. Ada kejadian PRT mereka suruh angkat jemuran saat hujan kemudian kesetrum, dan akibatnya tangannya diamputasi. Kasus lainnya PRT mereka suruh memelihara anjing majikan, anjing tersebut menggigit PRT dan kemudian meninggal.
Melalui Undang-undang, negara hadir untuk membantu seluruh warga Indonesia dengan maksimal. Dengan kekuatan politik, bahwa UU yang tersusun, ditanggung oleh generasi sekarang dalam efek baik maupun buruk. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara keberlangsungan generasi yang akan datang.
Mengapa RUU PPRT tidak seperti RUU TPKS?
RUU TPKS menempuh waktu 12 tahun, sementara RUU PPRT masuk tahun ke 19. Keduanya bukan dalam waktu yang pendek. Pertanyaannya, mengapa PPRT tertinggal untuk negara sahkan
Pertama, angka 4,2 juta tidak cukup menjadi kekuatan data yang berbicara. Apakah data itu valid, atau kredibel dan kita percaya untuk jadi kekuatan perubahan. Data ini tidak cukup menyediakan instrumen hukum dan UU secara khusus.
Kedua, UU TPKS mewakili semua orang, semua kelas, bisa terjadi siapa saja, dan korbannya siapa saja, dari orang tua, sampai yang tidak kita kenal, bisa terjadi karena relasi kuasa. Pelakunya bisa orang-yang memiliki otoritas kekuasaan, seperti kiai, pendeta, pembimbing tarekat.
Mereka bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Sebagaimana kasus yang terjadi di Jombang, Malang, dan atau Jateng. Hampir mewakili semua orang yang khawatir kalau tidak hari ini bisa jadi esok menimpa keluarganya. Maka sangat mewakili perasaan semua lapisan dan korban kekerasan secara mendalam.
PPRT ini mewakili siapa, jadi hanya dianggap sebagian kelas, kelas bawah, kelas pinggiran, term budak. Maka bahkan dia dianggap tidak punya kelas. Alangkah susahnya menembus barikade tersebut. Pemenuhan hak negara dan politik tidak mudah, karena bukan bagian kelas terwakili. Tetapi terdapat konektifitas batin, dari kelas para Pekerja RT itu.
84 Persen PRT adalah Perempuan
Sejak tahun 2004, draft rancangan ini sudah mereka diskusikan. Namun saat itu para korban tidak ada yang membela dan mengadvokasi. Pekerja rumah tangga ini mayoritas melibatkan perempuan. Terdapat 84% angka perempuan di dalam statistik namun hak-haknya belum terpenuhi, meski kontribusinya besar sekali. Valuasi nilai ekonominya berbeda dengan satpam, bandingkan dengan baby sitter yang mendapat gaji 4 juta, valuasi besar sekali.
Dalam pandangan Islam, RUU PPRT ini ada dalam bab ijaroh. Sebagaimana Imam Al Jauziyah, yang menganggap perlindungan PRT bagian dari Syariah. Abdun kulluha wa hikamun kulluha, memandang PRT harus berdasarkan keadilan. Wa kullu maslahatin wa minal hikam minas syariah, perempuan dalam konteks hukum tidak mendapat perlindungan.
RUU PPRT melakukan upaya perlindungan pekerja rumah tangga sebagai salah satu upaya meninggikan derajat perempuan. Sebagaimana yang Ibnu Hajar sampaikan, “Innalooha yansuru hadhihil ummah bido’ifihin., sesunguhnya Allah menguatkan kita dengan orang-orang dhuafa’. []