Mubadalah.id – Drama yang barusan tamat dan memiliki rating tinggi saat ini adalah When Life Gives You Tangerines. Drama Korea yang memunculkan karakter perempuan kuat. Bagi pecinta drakor, judul ini tidak boleh terlewatkan, selain karena dibintangi para artis papan atas Korea, alurnya yang dianggap relate dengan keseharian membuat orang sangat menantikan seriesnya.
Saya pribadi sangat pilih-pilih dalam menonton drama. Hal ini karena efisiensi waktu dan emotional bandwidth yang terbatas. Saya menghindari adegan drama yang memiliki alur menye-menye, menguras emosi, atau adegan yang tidak masuk akal.
Menonton drama korea untuk menikmati akhir pekan adalah langkah refreshing yang cukup ekonomis. Hanya bermodalkan kuota, kita bisa mendapatkan hiburan yang memiliki value. Karena drama korea cukup banyak menyuguhkan tontonan berkualitas.
Salah satunya Drama Korea When Life Gives You Tangerines, drama ini menyampaikan pesan mendalam tentang keluarga, impian, dan ketabahan menghadapi rintangan hidup. Penggambaran latarnya yang sangat detail dan memikat, dialog yang tersajikan terasa natural dan menyentuh, Chemistry kuat antara IU dan Park Bo-gum, cerita yang dekat dengan kehidupan nyata.
Pesan dalam drama ini antara lain adalah, “Dalam hidup akan ada momen yang terasa sangat menyakitkan dan menyedihkan”. Penting untuk tetap berdiri tegar demi orang-orang yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang kita, yaitu keluarga. Ujian hidup bisa kita jadikan sesuatu yang positif . Apapun keputusan hidup yang kita ambil, kita harus bertanggung jawab dengan segala resikonya.
Sinopsis When Life Gives You Tangerines
Drama yang menceritakan kisah cinta Ae Sun (IU) dan Gwan Sik (Park Bo Gum) yang berlatar di Pulau Jeju, Korea Selatan, pada 1950-an. Ae Sun adalah karakter perempuan yang suka baca buku dan jurusan Sastra Inggris pula. Memiliki Intellectual vibes-nya. Darama ini juga memunculkan karakter tokoh perempuan lainnya punya beberapa nilai plus yang bikin stand out di antara tokoh utama perempuan.
Ae Sun adalah sosok perempuan yang mandiri dan berani. Dia tampil sebagai sosok mandiri, bukan tipikal perempuan yang hidupnya hanya berputar di sekitar laki-laki. Dia punya drive sendiri, tidak takut menyuarakan pikirannya, dan tahu apa yang dia inginkan dalam hidup.
Sering kali, karakter perempuan dalam drama terjebak dalam drama melankolis yang berlebih. Ae Sun tidak begitu, dia tidak mudah dihanyutkan emosi, dan dia punya cara sendiri dalam menghadapi masalah tanpa harus bergantung pada orang lain.
Ae Sun melahirkan putri yang juga cerdas seperti dirinya, yaitu Myeong gyeom. Sebagai mahasiswa Sastra Inggris, tergambarkan sebagai seseorang yang banyak membaca, punya pemikiran yang tajam.
Menampilkan Perempuan yang Intellectually Engaging
Perempuan dalam drama ini mulai dari Ae Sun, Myeong Gyeom memiliki pesona yang membuat dirinya menarik, bukan sekadar pretty face tanpa isi, melainkan cerdas dan punya kedalaman berpikir. Di setiap ujian kehidupannya, alih-alih meratapi nasib, dia lebih fokus pada bagaimana bertahan dan mencari solusi. Mentalitas seperti ini yang bikin saya lebih menghargai karakter drama, yaitu punya ketahanan mental yang kuat .
Drama ini menampilkan alur dengan karakter perempuan kuat. Mulai dari sosok ibu pencari nafkah tunggal yang memiliki suami pengangguran, yaitu ibunya Ae Sun. Sosok Ae Sun yang menjadi korban patriarki, dia harus memendam impiannya untuk sekolah tinggi dan berkarir. Dia memutuskan untuk menikah dengan laki-laki pujaannya karena himpitan ekonomi.
Beruntung suaminya sangat support, sehingga masa lalunya yang kelam bisa ia buka dengan lembaran baru usia menikah, bisa memiliki rumah sendiri, menjadi ketua kelompok nelayan perempuan pertama di wilayah tersebut, dia terpilih karena kecerdasannya. Dia juga menabrak tradisi, dengan memperjuangkan anak sulungnya perempuan untuk diperbolehkan menaiki sepeda. “Jika dia dilarang belajar naik sepeda, kelak putri kita juga tidak akan bisa mewujudkan impiannya, dia akan berakhir sepertiku, berada di dapur.”
Ae Sun mampu membesarkan anak dengan baik, sehingga impiannya yang tidak terwujud di usia mudanya, bisa dia salurkan lewat putrinya. Putrinya bisa sekolah tinggi, berkarir dan menikah dengan pasangan yang tepat.
Inspirasi Positif
Sosok perempuan dalam drama ini, adalah para perempuan yang tidak sekadar eksis sebagai pelengkap cerita, tapi punya depth. Menampilkan para perempuan yang memperjuangkan pilihan hidup yang masuk akal. Karena karakter yang menarik itu bukan yang bikin kita ikut menangis mengikuti alurnya, namun yang mengajak kita ingin berpikir, bergerak, atau bahkan fight for something.
Tontonan apa pun itu, carilah tontonan yang membuat kita mendapatkan inspirasi positif, motivasi tinggi untuk menjadi manusia yang lebih baik. Jangan mengkonsumsi tontonan tentang zina atau perselingkuhan, yang membuat otak kita menjadi tidak berpikir kritis.
Dalam drama “When Life Gives You Tangerine” pasti paham, Yeoum Bum adalah duplikasi versi mudanya Gwan Sik. Akan tetapi, yang satu berhasil nikah, satunya gagal nikah. Kenapa Gwan Sik berhasil, Sementara Yeom Bum gagal.
Di dunia ini, ada dua tipe orang: mereka yang tumbuh karena tantangan, dan mereka yang melemah karena terlalu nyaman. Gwan Sik ada di kategori pertama. Keras sejak kecil, terbiasa cari jalan keluar sendiri, dan mengerti bahwa hidup tidak selalu lunak. Sementara Yeom Bum, dia ada di kategori kedua. Hidup dalam dukungan penuh keluarga, dibiayai, terlindungi, sampai akhirnya gagal membangun daya tahan mentalnya sendiri.
Akibat Laki-laki tidak Provider Mindset
Gwan Sik memahami bahwa hidup adalah realitas, Yeom Bum berbeda, dia memahami bahwa hidup sebatas narasi. Gwan Sik dari kecil sudah terbiasa berjualan, membantu orang tua, mengambil keputusan sendiri berani berpendapat, memperjuangkan perempuan yang ia cintai, melindungi keluarga kecilnya dari perilaku toxic orang tuanya dan tradisi di era tersebut.
Hal tersebut memengaruhi pola pikir dan nalarnya bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kita mau, tapi tentang apa yang bisa kita hadapi. Dia terbentuk dari pengalaman sejak dirinya kecil dan berani menghadapi segala risiko dari keputusan yang dia ambil, bukan sekadar cerita orang. Sementara Yeom Bum, hidupnya lebih banyak didikte oleh ibu.
Islam mengajarkan konsep mujahadah, perjuangan yang melatih diri. Manusia yang tidak mau untuk berjuang, dia tidak akan siap menghadapi hidup. Dan di sini letak masalahnya: Yeo Bum ingin menjadi pasangan yang baik, namun tidak punya otoritas atas diri sendiri.
Kemandirian Bukan soal Duit, Tapi Soal Mindset. Gwan Sik dari kecil sudah terbiasa berjuang, jadi dia tahu uang itu bukan cuma angka, tapi hasil kerja keras. Itulah alasan dia tidak mudah goyah. Sementara Yeom Bum? Dia tidak pernah memegang kendali atas hidupnya, jadi wajar kalau keputusan-keputusan penting pun tidak mampu dia ambil.
Menilik Kembali Konsep Qiwamah
Dalam Islamic Worldview, konsep qawwamah itu bukan sekadar “laki-laki harus memimpin,” melainkan laki-laki yang memiliki provider mindset. Laki-laki yang memiliki otoritas atas dirinya, harus bisa berdiri sendiri sebelum bisa menopang orang lain. Kalau diri sendiri saja belum kokoh, bagaimana mau jadi sandaran. Haruskah bersandar ke tembok?
Yeom Bum bingung mau menyenangkan siapa, Gwan Sik tahu prioritasnya. Sebagai pasangan, Yeom Bum ada di persimpangan: memilih perempuan yang ia cintai, atau tunduk pada keluarga. Dia tidak mampu bersikap tegas karena dari awal dia tidak pernah belajar jadi pemimpin. Dan ini bukan soal siapa yang lebih baik, istri atau orang tua, tapi soal keberanian mengambil sikap. Gwan Sik beda. Dia tahu apa yang dia mau, dan siap nanggung konsekuensinya.
Dalam Islam, keberanian mengambil keputusan itu bagian dari izzah atau kemuliaan seorang laki-laki. Bukan berarti keras kepala, tapi tahu kapan harus berdiri tegak dan kapan harus berkompromi.
Pesan dari drama ini yaitu, mentalitas wajib terbangun, bukan diberikan. Alasan Gwan Sik berhasil, karena dia tertempa sejak kecil. Penyebab Yeom Bum gagal, karena dia terlalu lama terlindungi. Hidup didikte, selalu menuruti apa kata Ibunya, akhirnya tidak bahagia, tidak merasakan manusia secara utuh dalam dirinya.
Islam mengajarkan kita untuk jadi insan kamil. Manusia yang utuh, bukan manusia yang terbiasa diatur tanpa bisa berdiri sendiri. Apalagi laki-laki. Karena dalam Islam, qawwam atau imam itu bukan gelar gratisan, tapi tanggung jawab yang harus dibuktikan dengan kapasitas. []