Mubadalah.id – Sebetulnya pengembangan energi terbarukan adalah bagian dari inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang umum terjadi dalam rekayasa teknologi. Ini bagian dari urusan dunia yang diserahkan sepenuhnya pada kreativitas dan inovasi dari akal budi manusia.
Sebagaimana umumnya perkembangan teknologi, selagi tidak menimbulkan madlarat/mafsadah dalam pandangan Islam pada dasarnya tidak ada larangan. Akan tetapi, mengapa perlu ada dukungan pandangan agama (fikih) untuk meyakinkan inovasi energi terbarukan ini?
Sebagai gagasan dan gerakan baik, inovasi energi terbarukan membutuhkan banyak dukungan. Bukan sekedar dukungan sosial, ekonomi, dan politik, tetapi juga dukungan moral keagamaan agar semuanya dapat berjalan secara serasi dan seimbang.
Dukungan ini bukan untuk melegitimasi, melainkan untuk memastikan kemaslahatan melekat. Serta tidak ada efek kemafsadatan dalam inovasi energi terbarukan ini baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Fikih energi terbarukan di sini tidak membahas soal halal dan haram, melainkan memosisikan konsep dan praktik energi terbarukan dalam pandangan agama. Baik dari sisi kemaslahatan maupun kemafsadatan untuk kehidupan masyarakat, baik saat digunakan maupun konsekuensi ke depannya.
Namun berdasarkan pengalaman saat mempersiapkan dan mengelola pembangunan PLTS di Tanjung Jabung Timur dan Solok Selatan, terdapat banyak masalah dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan jawaban agama. Untuk itulah fikih hadir memberikan respons.
Fikih sendiri sering didefinisikan sebagai al-‘ilmu bi al-ahkam asy-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabu min adillatiha at-tafshiliyyah, yakni ilmu tentang hukum-hukum agama yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.
Fikih dapat kita definisikan sebagai penalaran seorang faqih atas ayat-ayat al-Qur’an, al-Hadits, dan dalil-dalil lain yang terkait dengan realitas mukallaf untuk menemukan hukumnya yang bersifat praktis (amaly).
Dalil Terperinci
Oleh sebab itu, dalam perspektif fikih akan memberikan penalaran agama yang diambil dari dalil-dalil tafshiliyyah (terperinci) terkait dengan energi terbarukan yang dihadapi oleh mukallaf.
Hasil penalaran ini tidak selalu berupa hukum-hukum praktis yang bersifat taklifiyyah seperti wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Melainkan juga berupa pandangan etis yang semestinya seorang mukallaf lakukan atau tidak ia lakukan dalam kaitan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih maslahat.
Selain itu, dalam pespektif fikih juga membahas sejumlah masalah-masalah praktis yang ditemukan di lapangan terkait dengan persiapan, penerapan, pengelolaan, dan pemanfaatan energi terbarukan untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat.
Pembahasan ini dipandang sangat penting karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Sehingga pendekatan dan penjelasan keagamaan menjadi relevan untuk kita berikan.
Selain untuk memudahkan dalam mencerna masalah yang masyarakat hadapi dan posisi hukumnya, penjelasan keagamaan ini juga menjadi kebutuhan masyarakat.
Agama dalam kehidupan masyarakat memiliki posisi yang sangat sentral dan signifikan. Hampir semua masalah kehidupan kita dekati dengan pandangan keagamaan. Tanpa justifikasi keagamaan, solusi yang agama berikan seolah masih menggantung dan belum menancap dalam hati sanubari masyarakat. []