Mubadalah.id – Islam hadir sebagai ajaran yang menempatkan manusia dalam jejaring hubungan yang adil, bermartabat, dan penuh rahmah. Relasi antarmanusia—baik dalam keluarga, masyarakat, maupun kehidupan sosial—tidak terpahami sebagai hubungan dominasi, melainkan sebagai ruang kesalingan (mubādalah).
Konsep mubādalah menawarkan cara pandang etis untuk membaca teks-teks keislaman dan praktik sosial dengan menekankan prinsip timbal balik, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama. Dalam kerangka ini, relasi tidak berhenti pada keterhubungan formal, tetapi berkembang menjadi interrelasi yang dinamis dan transrelasi yang bermuatan nilai ilahiah serta transformasi sosial.
Relasi: Pengakuan Kesetaraan sebagai Fondasi Mubādalah
Relasi merupakan tahap paling dasar dalam etika kesalingan. Dalam perspektif mubādalah, relasi kita maknai sebagai pengakuan bahwa setiap manusia adalah subjek penuh yang memiliki martabat, hak, dan tanggung jawab moral yang setara.
Islam secara teologis menegaskan bahwa manusia tercipta dari asal yang sama dan dimuliakan tanpa membedakan jenis kelamin, status sosial, maupun peran kultural. Prinsip ini menjadi fondasi bagi relasi yang adil dan manusiawi.
Dalam konteks relasi gender, keluarga, maupun sosial, mubādalah menolak pemahaman relasi yang hierarkis dan sepihak. Ayat atau hadis yang menyebut kewajiban satu pihak tidak boleh terbaca sebagai legitimasi dominasi, melainkan harus kita pahami secara timbal balik.
Jika suami dituntut berbuat baik kepada istri, maka istri pun memiliki kewajiban yang sama kepada suami. Jika pemimpin diperintahkan berlaku adil kepada rakyat, maka rakyat pun berhak menuntut dan menjaga keadilan tersebut.
Relasi dalam mubādalah menekankan bahwa setiap pihak adalah mitra (partner), bukan objek. Pengakuan ini penting karena tanpa relasi yang setara, kesalingan tidak mungkin terwujud. Relasi yang timpang akan melahirkan ketidakadilan, kekerasan simbolik, bahkan pembenaran atas penindasan. Oleh karena itu, relasi dalam mubādalah bukan sekadar hubungan sosial, tetapi sikap etis yang berakar pada tauhid dan kemanusiaan.
Interrelasi: Dinamika Timbal Balik dalam Praktik Kehidupan
Jika relasi adalah fondasi, maka interrelasi adalah praktik hidup dari kesalingan. Interrelasi menunjukkan bahwa hubungan antarindividu atau kelompok bersifat saling memengaruhi dan terus bergerak. Dalam perspektif mubādalah, setiap hak selalu berkelindan dengan kewajiban, dan setiap peran selalu terhubung dengan tanggung jawab pihak lain.
Dalam kehidupan keluarga, misalnya, interrelasi terlihat dalam pembagian peran yang adil dan kontekstual. Nafkah, pengasuhan, pengambilan keputusan, dan kepemimpinan keluarga tidak dipahami secara kaku berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan musyawarah, kemampuan, dan keadilan. Ketika satu pihak berkorban, pihak lain merespons dengan penghargaan dan tanggung jawab. Inilah bentuk interrelasi yang sehat dan berkeadilan.
Dalam ranah sosial, interrelasi mubādalah mendorong dialog, partisipasi, dan empati. Tidak ada pihak yang hanya memberi atau hanya menerima. Setiap tindakan memiliki dampak sosial dan moral. Kekerasan, diskriminasi, dan eksklusi dipahami sebagai kegagalan interrelasi karena memutus rantai kesalingan. Sebaliknya, solidaritas, kerja sama, dan kepedulian sosial merupakan buah dari interrelasi yang etis.
Dengan demikian, interrelasi dalam mubādalah mengajarkan bahwa keadilan bukanlah kondisi statis, melainkan proses yang harus terus dirawat. Kesalingan tidak hadir secara otomatis, tetapi membutuhkan kesadaran, komunikasi, dan komitmen bersama untuk saling menjaga martabat dan kesejahteraan.
Transrelasi: Kesalingan sebagai Jalan Spiritual dan Transformasi Sosial
Transrelasi merupakan lapisan terdalam dari etika mubādalah. Ia melampaui hubungan langsung antarindividu dan mengaitkannya dengan nilai ilahiah, kemaslahatan kolektif, dan tujuan moral Islam (maqāṣid al-syarī‘ah). Dalam transrelasi, kesalingan tidak hanya dipahami sebagai etika sosial, tetapi juga sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab spiritual.
Relasi yang adil antar manusia diyakini memiliki konsekuensi transenden: mendekatkan manusia kepada Allah. Ketika seseorang berlaku adil, menghormati pasangannya, atau menjaga hak orang lain, ia tidak hanya menjalankan etika sosial, tetapi juga memenuhi amanah keimanan. Dengan kata lain, mubādalah menghubungkan etika relasional dengan tauhid, rahmah, dan keadilan ilahiah.
Selain itu, transrelasi juga bersifat transformasional. Kesalingan yang kita praktikkan secara konsisten akan melahirkan budaya sosial baru: keluarga yang sakinah, masyarakat yang inklusif, dan peradaban yang berkeadilan. Dalam konteks ini, mubādalah tidak berhenti pada relasi personal, tetapi berkontribusi pada perubahan struktur sosial yang menindas menjadi lebih manusiawi.
Transrelasi menegaskan bahwa setiap relasi manusia memiliki dimensi tanggung jawab jangka panjang, baik di dunia maupun di hadapan Tuhan. Kesalingan menjadi jembatan antara etika individual dan keadilan sosial, antara praktik keseharian dan visi peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Etika kesalingan dalam Islam melalui perspektif mubādalah menghadirkan kerangka relasional yang utuh dan berlapis. Relasi menegaskan kesetaraan martabat, interrelasi menghidupkan timbal balik yang adil, dan transrelasi memaknai kesalingan sebagai jalan spiritual dan transformasi sosial.
Dengan memahami dan mengamalkan mubādalah dalam tiga lapis ini, Islam tidak hanya menjadi ajaran normatif, tetapi juga praksis etis yang membebaskan, memanusiakan, dan membawa rahmah bagi seluruh kehidupan. []









































