Mubadalah.id – Istilah feminisida sudah tidak asing bagi kalangan para aktivis dan akademisi. Diana Russel, tahun 1976 mencetuskan definisi feminisida pertama kali di Brussel dalam forum Pengadilan Internasional tentang Kejahatan.
Objek dari korban feminisida tentu saja adalah perempuan dan anak. Pada masa itu, perempuan dan anak memiliki posisi rentan karna tidak memiliki cukup kuasa atas dirinya. Dan berlanjutlah pada dunia ketiga ini.
Pelenyapan nyawa perempuan tidak terjadi begitu saja. Melainkan terdapat alasan kuat mengapa perempuan menjadi sasaran empuk tindak kejahatan feminisida.
Tujuan dari munculnya istilah feminisida adalah untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa kematian perempuan karena sebuah kekerasan adalah tindak kekerasan yang tidak netral gender. Karena perempuan adalah sosok yang rentan menerima dan menjadi korban kekerasan oleh laki-laki. Di mana dalam tatanan sosial patriarkis, laki-laki adalah orang yang berkuasa.
Feminisida dan Sistem Patriarki
Kontribusi pemikiran Radford dan Russel menekankan bahwa tindakan kriminal pembunuhan antara korban laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang signifikan. Usulan tersebut adalah bagian dari Upaya merekontruksi cara pandang masyarakat agar mampu memahami adanya fakta perbedaan kematian perempuan didasari pada intrik misoginis.
Dasar dari pendekatan “femisida” adalah pandangan tentang patriarki. Yaitu tatanan struktural yang didominasi oleh laki-laki dan menempatkan perempuan pada jenis kelamin kelas kedua. Prinsip dasar dari patriarki adalah kekuasaan, yang mana kekuasaan tersebut termanifestasikan secara tidak setara antara laki-laki dan perempuan.
Persoalan ini tidak hanya berada dalam tatanan sosial budaya, melainkan juga mengakar pada relasi privat, perumusan kebijakan dan tentu saja perilaku kejahatan kriminal.
Mengapa pelaku femisida adalah orang terdekat?
Fenomena penghilangan nyawa perempuan menjadi sorotan pemberitaan publik. Beberapa kasus yang belakangan ini menjadi perbincangan publik adalah pembunuhan suami Nando kepada istrinya MS di Bekasi, kemudian kasus pembunuhan istri dan anak perempuan, pekaku Yosef (auami- ayah kandung).
Sedangkan di Subang, berlanjut kasus pembunuhan menantu oleh ayah mertua di kabupaten Purwodadi. Menurut keterangan polisi korban, sedang dalam keadaan hamil 7 bulan.
Kasus tersebut menjadi sekelumit fenomena feminisida yang viral dalam perbincangan publik. Sebenarnya masih banyak lagi kasus pembunuhan feminisida yang tidak tersorot oleh kamera bahkan yang tidak tercatat secara hukum.
Komnas Perempuan dalam agensinya, melakukan analisis dan pendataan korban feminisida di Indonesia. Data tercatat bahwa sejak Juni 2021- Juni 2022, tercatat sebanyak 307 kasus feminisida. Dari banyaknya kasus, terlapor ada 84 kasus feminisida yang dilakukan oleh pasangan intim. Yang dalam hal ini dimaksudkan pelaku pembunuhan feminisida adalah orang terdekat, baik itu suami, pacar, atau mantan kekasih.
Pertanyaannya, kenapa keluarga yang secara idealisme, menjadi ruang aman dan pelimpahan kasih sayang justru menjadi tempat bersarangnya pelaku kejahatan feminisida?
Pertama, Krisis Maskulinitas dan KDRT. Sistem kehidupan patrialkal membentuk cara pandang dan sikap laki-laki seolah menjadi sosok yang dominan. Hal ini juga tercermin dalam institusi keluarga. Di mana ketika pelaku kejahatan feminisida merasa harga diri maskulinnya terkikis, maka jalan pintas untuk melegitimasi kekuasaan adalah dengan menggunakan kekerasan. Itulah kenapa bibit dari feminisida adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kedua, ketahanan mental keluarga yang rendah, dalam membangun relasi keluarga tentu saja kita tidak bisa terbebas dari tekanan. Berbagai tekanan stress seperti permasalahan ekonomi, permasalahan dalam hubungan dan kecemburuan, telah menyubumbangkan dari banyaknya motif kejahatan feminisida.
Ketidakmampuan pelaku dalam mengelola emosi negatif dan menyelesaikan masalah keluarga dengan bijak, telah menyumbangkan motif tindak kejahatan feminisida.
Intervensi Memberantas Feminisida
Salah satu cara secara untuk memangkas tingkat pelenyapan nyawa perempuan adalah dengan beberapa cara. Antara lain menguatkan wacana dan praktik tentang fenomena femisida di Indonesia ini.
Pertama, secara wacana konseptual, kita dapat menggunakan pemikiran Galtung (1990) yang mana ia tidak hanya berkutat pada penjelasan kekerasan. Namun juga mencoba untuk menyelesaikan konflik yang mendasari kekerasan tersebut. Galtung juga mengusulkan untuk bagaimana mengatasi dampak dari kekerasan (baik secara terlihat maupun tidak terlihat).
Kedua, dengan menggunakan kerangka konseptual Galtung, dapat kita turunkan dalam praktik pelaksanaannya, yaitu Kebijakan publik yang mampu melahirkan prodak hukum terkait “tindak kriminal femisida”. Karna selama ini kasus pembunuhan perempuan dalam relasi intim (pasangan suami-istri) menurut MA masuk dalam kategori pembunuhan suami pada istri.
Sebagaimana yang telah tertuang dalam tulisan ini. Femisida adalah kasus pembunuhan yang tidak netral gender dan kaya akan intrik misoginis. Maka tentu saja sudah saatnya Indonesia memiliki kekuatan hukum yang mengaturnya dan tentu pelaku layak untuk menerima hukuman yang lebih berat dari pembunuhan biasa.
Selanjutnya, pentingnya kerjasama antas lintas sektoral baik itu Polisi, Lembaga Hukum, NGO, Aktivis dan Akdemisi untuk dapat terjun pada akar rumput dengan pandangan berpihak pada perempuan marginal.
Kegiatan penyuluhan lintas sektoral pada masyaarakat, tentang relasi sehat dan kesadaran kesetaraan gender, menjadi garda terdepan pencegahan kekerasan pada perempuan. Selain itu, melakukan riset mengenai feminisida juga dapat menjadi basis memperkaya data guna mencapai sensifitas kriminal berbasis gender. []