Mubadalah.id- Pembahasan tragedi pembunuhan kopi sianida kembali melalui beragam media setelah tanyangnya film dokumenter mengenai kasus ini. Penayangan film ini meminta publik untuk mengingat kembali kejadian 7 tahun silam. Saat salah satu dari tiga teman yang sedang menikmati kopi di cafe ternama kehilangan nyawanya.
Kilas Balik Kasus Kopi Sianida
Beragam intrik muncul ketika pengungkapan kasus ini. Jika kembali mengingat-ingat saat persidangan kasus ini jadi sorotan semua pihak. Bahkan menjadikan televisi saat itu magnet tersendiri untuk satu keluarga duduk, mendengarkan dan menganalisa kejadian yang ada di meja hijau.
Kedua kubu pun terbentuk ketika persidangan berlangsung. Ini bukan hanya kubu jaksa penuntut umum dan juga advokat dari tersangka. Melainkan ribuan mata dan tangan dalam media sosial yang membela masing-masing pihak. Melakukan penggiringan opini masyarakat untuk melancarkan kebenaran oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kemenangan.
Walaupun saat itu hampir 99% masyarakat berharap tersangka mendapat hukuman yang setimpal. Tetapi tidak menutup banyak keraguan yang kembali muncul ketika ada fakta lain yang juga sama kuatnya.
Kasus ini semacam telenovela atau drama khas Indonesia yang menarik beragam mata untuk memandangnya. Walau sudah 7 tahun silam kejadian ini berlalu, tetapi ketika kembali muncul di permukaan kembali menarik untuk diperbincangkan.
Ice Cold: Murder, Coffe, and Jessica Wongso jadi film dokumenter yang sedang kembali ramai diperbincangkan. Tayang di netflix 28 September 2023 lalu membuat film ini memiliki daya tarik tersendiri. Menyajikan eragam sudut pandang pada penonton, membuatnya mengingat kembali kejadian 7 tahun silam. Film ini menampilkan beragam pemeran langsung dalam kejadian pembunuhan kopi sianida tersebut.
Prespektif Narasumber
Narasumber memberikan banyak prespektif dan pendapat yang muncul dalam film dokumenter ini. Mulai dari ahli, saksi ahli ketika persidangan, pengamat hukum, pengacara, jurnalis, hingga keluarga korban. Keluarga korban menunjukkan rasa puas hukuman tersebut. Tetapi rasa tidak adil, dan juga miris dengan keadilan saat itu pelaku ungkapkan.
“Saya takut jika hal ini terjadi pada orang biasa, mungkin pelaku akan mendapat hukuman yang lebih berat. Kalo kasus jesica anda kategorikan lumayan, maka saya akan membiarkan imajinasi anda untuk membayangkan bagaimana kasus-kasus lain di Indonesia dilakukan” ujar Erasmus Napitupulu, executeive director ICJR (Institute For Criminal Justice Reform). Erasmus jadi salah satu narasumber yang muncul dalam film dokumenter ini.
Dalam penjelasan tersebut dirinya tidak berpihak dalam kubu manapun. Dia banyak memberikan kita pemahaman baru terkait konstruksi hukum Indonesia yang katanya adil untuk seluruh kalangan. Dalam film dokumenter memang banyak memapaparkan ahli lain yang juga ikut membahas perkara ini, tapi Erasmus jadi salah satu narasumber yang menarik perhatian saya. “Menurut saya, dan juga penelitian dari ICJR bisa jadi Jessica bersalah, hanya karena harus ada yang bersalah dalam kematian seseorang,” ujarnya.
Sistem peradilan di Indonesia memang sebuah hal yang saat ini kurang sakral lagi. Jika membayangkan dalam film hollywood bahwa hakim jadi wasit, dan ada juri yang menentukan siapa pemenangnya itu salah. Tidak ada juri dalam sistem peradilan Indonesia, dan ketiga hakim tersebut yang memberikan putusan. Menentukan alat bukti yang sah, dan juga mana yang salah.
Konsep Ma’ruf dalam Film Dokumenter
Coba kita lihat kasus terkait hukum ini dalam konsep ma’ruf. Terdapat tiga ide dasar dari konsep ma’ruf ini. Pertama dalam konsep syariat, akal sehat dan juga kepatutan sosial. Mari membahasnya dari yang paling utama yaitu syariat. Dalam islam, pengaturan hukum sudah sedemikian rupa untuk membantu umat manusia, Al-Mai’dah ayat 8 jadi salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas terkait keadilan.
Selanjutnya ada akal sehat, film dokumenter ini juga membawa ingatan kita bahwa ada banyak barang bukti yang rancu. Seperti kopi sianida yang kondisinya berubah-ubah, rekaman CCTV yang hilang, sisa racun yang tidak ditemukan, dan lain sebagainya. Yang bisa jadi kritik pada jaksa dan kepolisian dalam penanganan kasusnya.
Ide dasar terakhir dalam konsep ma’ruf adalah kepatutan sosial. Terkadang jika diperhatikan memang mungkin bahwa setiap kejahatan harus ada pelaku yang melakukannya. Tetapi dalam mencapai konsep ma’ruf yang sudah dijelaskan harus ada kepatutan sosial dalam penanganan setiap kasus.
Pada akhirnya, tindak penghilangan nyawa seorang adalah hal yang paling kejam dan tidak dibenarkan dalam agama manapun. Tetapi keadilan dan juga harus memperhatikan jalan hidup orang-orang yang masih berpijak di bumi. Jika ada ketidakadilan saat ini untuk orang lain, maka bisa jadi esok hari atau kapan ketidakadilan itu akan menimpa diri kita. []