Mubadalah.id – Hari ini perasaan diri tentang keyakinan bahwa film merupakan salah satu media yang tepat menjadi ruang menyuarakan sesuatu meningkat. Film memberikan hiburan sekaligus pesan tertentu yang ingin tersuarakan.
Kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 2016 kembali menjadi perbincangan pasca rilis sebuah film dokumenter yang mengisahkan tentang peristiwa itu. Film Ice Cold judul film tersebut besutan sutradara Jessica Lee Chu En.
Film dokumenter ini mampu membawa wacana baru tentang kejanggalan-kejanggalan dari kasus pembunuhan Mirna. Kejanggalan ini sebenarnya telah terjadi sejak masa persidangan, namun publik tidak mengetahuinya dan hari ini semua itu terbuka melalui sebuah film.
Penulis tidak akan banyak mengulas film Ice Cold itu secara mendetail. Namun, justru akan menyorot posisi perempuan dalam kasus tersebut. Tokoh penting yang ada dalam kasus tersebut adalah perempuan, baik korban maupun pelaku.
Kasus ini sangat ramai dan menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Seorang pemain sinetron terkenal yang mereka tampilkan dalam film mengatakan bahwa ketertarikan masyarakat Indonesia dengan kasus ini terpengaruhi oleh tingkat ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap sinetron yang tinggi.
Ketika Perempuan Menjadi Pelaku Kriminal
Kronologi kejadian dan perjalanan penyelidikan, penyidikan, persidangan hingga putusan pengadilan memang penuh dengan drama, layaknya sinetron. Hal lain juga aktor utama dalam kasus ini adalah sepasang perempuan yang bersahabat, ini menjadi menarik massa untuk terus memantau kasus ini. Banyak juga komentar yang mencuat di media mengenai kasus ini dengan kalimat: “hatinya di mana ya, bisa-bisanya, padahal sama-sama perempuan”.
Nah, komentar semacam ini yang menggelitik untuk diulas lebih lanjut. Komentar semacam itu yang akhirnya melahirkan sebuah kesan “perempuan sebagai pelaku kriminal, seolah-olah menanggung dua kali lipat kesalahan”, kesalahan pertama karena dirinya melakukan kriminal dan kesalahan kedua karena dia jadi perempuan jadi makin salah, karena seharusnya tidak melakukan kriminal.
Terlepas dari kasus Kopi Sianida, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Pun, laki-laki dan perempuan sudah seharusnya tidak melakukan perilaku kriminal. Hari ini, ternyata seorang perilaku kriminal masih mendapatkan stigma yang lebih berat hanya karena dia berjenis kelamin “perempuan”, termasuk dalam kasus Kopi Sianida.
Pandangan Idealitas Fisik Perempuan
Selain itu, dalam film Ice Cold tersebut juga tersebutkan berkaitan fisik dari pemeran utama dalam kasus tersebut, Mirna sebagai sosok yang berparas cantik dan Jessica sebaliknya. Penilaian semacam ini masih berkeliaran dalam masyarakat kita.
Pandangan idealitas tentang fisik perempuan menjadi bagian yang diperbincangkan dalam kasus ini. Hingga kesannya pun, perempuan memang bisa berbuat keji hanya karena tidak bisa mencapai titik idealitas fisik yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Film Ice Cold ini mengantarkan pada satu refleksi bagaimana masyarakat masih memandang perempuan sebagai “sosok yang lain”. Hal ini berdampak terhadap “sebagai perempuan” menjadi salah satu indikator yang patut kita bawa dan kita persoalkan pada saat dia melakukan suatu kesalahan.
Pandangan-pandangan ini seharusnya yang perlu kita upayakan untuk kita suarakan. Namun, suara semacam apa yang paling efektif untuk kita lakukan? Ini adalah pekerjaan kita bersama.
Poin penting dari tulisan ini bukan untuk membela perempuan walaupun bersalah, namun kita sudah waktunya memandang manusia sebagai manusia yang utuh. Memberikan pandangan dengan menitik beratkan pada satu jenis kelamin tertentu justru akan menjatuhkan diri kita pada satu bentuk opresi yang baru.
Baik laki-laki dan perempuan, keduanya adalah individu yang hadir dengan segala kompleksitas yang keduanya miliki sebagai manusia. Kita semua akan lebih adil memandang diri sebagai manusia seutuhnya. Sekian. []