Mubadalah.id – Fiqh yang dipahami selama ini, seperti diungkap KH. Husein Muhammad, masih didominasi oleh apologi laki-laki dalam memandang perempuan.
Kasus paling jelas adalah dominasi kuantitas faqih (ahli fiqh) laki-laki atas perempuan yang kenyataannya hampir tidak ada.
Problem diskriminasi dalam produk tafsir teks dan proses penafsiran itu sendiri tidak saja menyentuh ranah pewacanaan, tetapi secara sistematis telah menusuk ranah struktur sosial dalam kehidupan keseharian.
Dalam hal ini, muncul pertanyaan, apakah proses penafsiran itu memang diskriminatif ataukah hanya produk tafsirnya.
Dengan kata lain, apakah substansi penafsiran sebagai instrumen betul-betul diskrimunatif ataukah hanya masalah produk tafsir saja yang diskriminatif.
Teori sosial yang Gadamer dan Habermas kembangkan tentang interpretasi (hermeneutika) mungkin bisa membantu menjelaskan.
Kata Gadamer, hermeneutika sebagai filsafat sebenarnya ingin bebas dari kuasa obyektif metodologis modernitas.
Dengan kata lain, hermeneutika itu baru bebas setelah ia menjadi bentuk pemahaman universal.
Sedangkan bagi Habermas, tafsir itu selalu sarat dengan kepentingan, meski sebagai pemahaman sekalipun.
Kendati demikian, tafsir akan menjadi emansipatoris, jika hadir sebagai bentuk komunikasi teleologis rasional dalam ranah publik. Tafsir tidak lagi menjadi mimesis-meminjam bahasa George Luckas.
Dengan pendekatan seperti itu, analog yang Kiai Husein kemukakan begitu menohok tradisi pemikiran keagamaan yang berkembang hingga kini.
Tafsir itu sebenarnya tidak akan diskriminatif jika berorientasi sebagai pemahaman, tanpa framework penguasaan.
Pemahaman yang tidak diskriminatif itu berupa komunikasi teleologis rasional. Yakni, komunikasi yang seimbang. Atau pemahaman yang tidak menghantarkan penafsiran kepada pembendaan (mimesis) terhadap teks.
Untuk membuktikan telaahnya, pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid itu mengkaji tradisi fiqh, maka menawarkan paradigma pemahaman baru terhadap teks keagamaan.
Kiai Husein memilih kajian fiqh yang sensitif gender. Karenanya, ia menawarkan berbagai metodologi dalam memahami teks agama yang adil gender.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.