• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Konten dari para difabel masih belum bisa lepas dari diskriminasi, pertanyaan yang menyinggung, hingga bullying.

Shivi Mala Shivi Mala
03/07/2025
in Publik
0
Konten Kesedihan

Konten Kesedihan

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id– Konten sad fishing atau konten memancing kesedihan memang salah satu trik untuk mendapatkan viewers lebih banyak di media sosial. Ternyata konten kesedihan juga menyasar para teman-teman difabel, mempertontonkan kisah hidup mereka untuk kemudian menarik simpati masyarakat luas. Akhirnya, potensi difabel sebagai manusia yang setara dengan yang lain menjadi terabaikan. 

Sayangnya, produksi konten kesedihan tidak hanya untuk mempublikasi kisah hidup kreator sendiri, tapi menyasar kaum rentan seperti para fakir miskin,  pemulung, anak yatim, hingga para difabel. Terlepas dari niat baik pembuat konten yang mungkin saja ingin memberi bantuan atau memancing masyarakat umum memberi bantuan, tetapi sikap semacam ini sangat dekat dengan mengkerdilkan kemampuan kaum rentan. 

Saya pribadi cukup sering melihat konten berisi kesedihan dari berbagai macam objek. Beberapa waktu terakhir, saya juga sengaja mengamati media sosial TikTok terkait untuk melihat animo masyarakat pada video-video bernuansa kesedihan khususnya dengan difabel. Hemat saya, konten kesedihan yang tampil di media sosial berpotensi semakin mempertebal jarak antara difabel dan non difabel. 

Etika Produksi Konten dengan Difabel

Dalam bermedia sosial tentu memiliki etika, begitu juga dalam berinteraksi dengan difabel. Jika menggabungkan kedua aspek tersebut, saya menyimpulkan ada etika dasar ketika membuat konten media sosial dengan difabel. 

Pertama, consent. Hal yang paling penting dari produksi konten antar dua orang atau lebih dalam persetujuan (consent) saat membuat video hingga izin publikasi di media sosial. 

Baca Juga:

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Kedua, menggunakan bahasa yang baik, santun, dan tidak menyinggung pihak manapun

Ketiga, tidak mengumbar masalah pribadi atau hal yang sensitif

Keempat, menerapkan etika berinteraksi dengan difabel, misal menyejajarkan posisi dengan difabel tuna daksa.

Kelima, difabel bukan objek. Menempatkan difabel bukan sebagai manusia yang menjadi objek kasihan, derita, dan inspirasi, tetapi seharusnya memproduksi tontonan yang inklusif di media sosial.

Keenam, memiliki pemahaman yang cukup tentang disabilitas; khususnya partner dalam membuat konten.

Difabel Berkarya Selayaknya Manusia Pada Umumnya

Ada banyak kreator difabel di media sosial TikTok yang mampu menunjukkan potensi mereka seperti halnya non difabel. Beberapa di antaranya adalah konten Januarti Mukti; difabel Cerebral Palsy yang berhasil memiliki lebih dari 200 ribu followers TikTok. Dia mampu konsisten membuat konten vlog kehidupan sehari-hari, pengalaman pendidikan dan bertemu orang asing.

Tak kalah dengan konten kreator kecantikan pada umumnya, Maureen Kartika; seorang difabel Tuna daksa dan skoliosis bahkan memiliki lebih dari 500 ribu follower hingga saat ini. Maureen aktif membuat konten-konten tren make up, rekomendasi make up, fashion, hingga vlog sehari-hari.

Di bidang lain, ada Maidi Azam; seorang difabel yang berprofesi sebagai penjual donat bisa memanfaatkan platform TikTok sebagai media untuk menambah pundi-pundi keuntungan dan eksposurenya. 

Masih banyak teman-teman difabel yang mampu fokus menunjukkan bakat, potensi, bahkan kemahiran bisnis lewat media sosial. Hal ini menjadi kabar baik yang harus tersebar agar semakin banyak teman difabel yang mampu memanfaatkan kemajuan dunia digital.

Satu hal yang penting, difabel dan non difabel sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebuah kelebihan berhak memiliki ruang untuk tampil di berbagai platform media sosial dan mendapat respon yang setara tanpa perbedaan, sebab keduanya sama-sama bisa memiliki dampak di media sosial sesuai dengan bidang yang digeluti. 

Respon masyarakat luas di media sosial memang bukan hal mudah untuk terkendali. Sehingga setelah saya amati konten produktif dari para difabel, ada komentar-komentar yang relevan dengan konteks video.

Tetapi di luar itu, konten dari para difabel masih belum bisa lepas dari diskriminasi, pertanyaan yang menyinggung, hingga bullying. Sehingga dari fakta ini, yang perlu berbenah bukan hanya kesadaran pemanfaatan media sosial bagi difabel, melainkan kesadaran, masyarakat  bahwa difabel dan non difabel adalah tidak berbeda.

Difabel Bukan Objek Validasi Rasa Syukurmu

Ketika menyelam ke media Sosial Tiktok, akan ada dua tipe video terkait difabel. Pertama, difabel yang menggunakan platform TikTok untuk hal positif seperti membuat konten keseharian, menjual produk dan jasa, atau edukasi. Kedua, menggunakan platform TikTok sebatas menarik simpati dan mengharap bantuan.

Coba perhatikan konten sedekah atau donasi pada difabel di TikTok, pasti tidak jauh-jauh dari mengekspos keadaan difabel. Baik soal berjuang dalam hal pekerjaan, pendidikan atau kehidupan sehari-harinya dengan konteks kesedihan. Bukankah seharusnya kita memandang hal itu normal sebagai manusia yang survive dalam hidup?

Mirisnya, video-video tersebut malah muncul dari beberapa NGO atau lembaga kemanusiaan yang seharusnya lebih memahami literasi digital. Tidak ada yang salah dengan membantu masyarakat rentan, tetapi membantu saja tidak cukup jika ada bagian lain yang menjadi korban. Difabel semakin terlihat berbeda dan potensi atau bakat difabel tetap tidak tersalurkan lewat platform besar si pembuat konten.

Kalau dalam hal ini, tidak perlu lah saya sebut pihak kreatornya. Tetapi semoga ke depan konten-konten terkait difabel tidak hanya seputar kisah hidup, ya. Tetapi bisa berkembang ke arah yang inklusif dan bisa fokus pada potensi, jasa, bisnis, dan bakat yang dimiliki teman difabel. Semacam itulah membantu tanpa mengkerdilkan satu pihak yang rentan dalam konten media sosial.  []

Tags: Inklusi SosialIsu DisabilitasKonten KesedihanLiterasi Digitalmedia sosialviral
Shivi Mala

Shivi Mala

Islamic Law Enthusiast

Terkait Posts

Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID