Selasa, 11 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    silent revolution

    Prof. Alimatul Qibtiyah Sebut Silent Revolution sebagai Wajah Gerakan Perempuan Indonesia

    Alimat

    Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP

    mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney

    Mahasiswa dan Diaspora Indonesia di Sydney Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Soeharto

    Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto

    Pahlawan Soeharto

    Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat

    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Grooming Behavior

    Grooming Behaviour dan Pudarnya Nalar Kritis Para Gawagis

    Inklusi Disabilitas

    Inklusi Disabilitas: Job Fair DKI Jadi Langkah Kecil

    kekerasan penyandang disabilitas

    Sulitnya Perempuan Penyandang Disabilitas dalam Melaporkan Kasus Kekerasan

    Hari Pahlawan

    Refleksi Hari Pahlawan: The Real Three Heroes, Tiga Rahim Penyangga Dunia

    Kekerasan di Pesantren

    Stop Berlindung di Balik Dalih Agama: Kekerasan Seksual di Pesantren itu Nyata

    Generasi Sandwich Jumbo

    Generasi Sandwich Jumbo: Antara Bakti dan Beban

    Harimau Sumatra

    Mengenang Elva Gemita, Perempuan yang Peduli akan Kelestarian Harimau Sumatra

    Apa itu Sempurna

    Apa Itu Sempurna? Disabilitas dan Tafsir Ulang tentang Normalitas

    Eco-Waqaf

    Eco-Waqaf dan Masa Depan Hijau: Sinergi Iman, Ekonomi, dan Lingkungan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    silent revolution

    Prof. Alimatul Qibtiyah Sebut Silent Revolution sebagai Wajah Gerakan Perempuan Indonesia

    Alimat

    Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP

    mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney

    Mahasiswa dan Diaspora Indonesia di Sydney Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Soeharto

    Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto

    Pahlawan Soeharto

    Ketua PBNU hingga Sejarawan Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Dosanya Besar bagi NU dan Masyarakat

    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Grooming Behavior

    Grooming Behaviour dan Pudarnya Nalar Kritis Para Gawagis

    Inklusi Disabilitas

    Inklusi Disabilitas: Job Fair DKI Jadi Langkah Kecil

    kekerasan penyandang disabilitas

    Sulitnya Perempuan Penyandang Disabilitas dalam Melaporkan Kasus Kekerasan

    Hari Pahlawan

    Refleksi Hari Pahlawan: The Real Three Heroes, Tiga Rahim Penyangga Dunia

    Kekerasan di Pesantren

    Stop Berlindung di Balik Dalih Agama: Kekerasan Seksual di Pesantren itu Nyata

    Generasi Sandwich Jumbo

    Generasi Sandwich Jumbo: Antara Bakti dan Beban

    Harimau Sumatra

    Mengenang Elva Gemita, Perempuan yang Peduli akan Kelestarian Harimau Sumatra

    Apa itu Sempurna

    Apa Itu Sempurna? Disabilitas dan Tafsir Ulang tentang Normalitas

    Eco-Waqaf

    Eco-Waqaf dan Masa Depan Hijau: Sinergi Iman, Ekonomi, dan Lingkungan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Grooming Behaviour dan Pudarnya Nalar Kritis Para Gawagis

Trah Kiai tidak hanya menjadi glamor simbolik, seorang Gus seharusnya memahami bahwa setiap anak punya hak atas tubuhnya sendiri.

Halimatus Sa'dyah Halimatus Sa'dyah
11 November 2025
in Publik
0
Grooming Behavior

Grooming Behavior

6
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Media sosial ramai memperbincangkan sebuah adegan Gus Elham Yahya sebagai pendakwah yang sedang mencium anak kecil. Video lainnya menunjukkan unsur cat calling pada jamaah perempuan cantik, yang menghadiri pengajian Gus Elham tersebut. Video lain juga memperlihatkan Gus yang unjuk kebolehan menyanyi lagu dangdut dengan duduk di kursi majelis pengajiannya.

Berita ini mencuat, dan mayoritas kontra akan perilaku sosok Gus Elham Yahya. Selain sedang mencium pipi anak kecil dengan terjadi lebih dari sekali, video lainnya menunjukkan Gus yang sedang berada di tengah kerumunan para perempuan muda yang mengaguminya, bak selebritas.

Dalam dakwah, konten dan peran sosial, gelar Gus bisa memberi keunggulan simbolik berupa trust dan otoritas. Istilah Gus atau Gawagis adalah gelar kehormatan yang lazim di lingkungan pesantren di Jawa sebagai panggilan untuk putra-putri ulama Kyai atau Ibu nyai. Tindakan mencium anak kecil berulang kali adalah sebuah pelanggaran etika, adab dan potensi pelecehan.

Fenomena “Gus ngartis” semakin terasa. Sebutan Gus, seharusnya melekat pada warisan keilmuan, keteladanan, dan perjuangan sosial kiai pesantren, kini  tereduksi menjadi label “selebritas.” Media sosial berubah menjadi panggung pamer dan validasi, bukan lagi ruang refleksi ilmu dan kritik sosial.

Grooming Behavior yang Mendapat Kritik Serius

Kita ketahui bersama bahwa grooming behavior adalah proses manipulatif oleh pelaku kekerasan seksual untuk mendekati, memengaruhi, dan mengendalikan korban, terutama anak-anak atau remaja. Memiliki tujuan akhir yaitu melakukan pelecehan atau eksploitasi seksual.

Meluasnya peran sosial, budaya, ekonomi, dan media yang terafiliasi dengan sosok keturunan kiai dan ibu nyai, panggilan ini hanya terjadi khusus di masyarakat pesantren dan komunitas Islam di Jawa. Tidak semua anak kiai otomatis memakai gelar ini. Gelar ini punya muatan simbolik, sosial, dan budaya yang melekat.

Masalah muncul ketika sebutan “Gus” dipakai sebagai modal branding personal, sementara substansi keilmuan dan kepekaan sosial mulai kabur. Bukan lagi bicara amar ma’ruf nahi munkar, maqasidu syari’ah, maslahatu amah atau ubudiyah. Konten ringan para Gus atau disebut juga gawagis menyesuaikan pasar melalui kata-kata manis, gombalan viral, atau gimmick khas influencer.

Alhasil, Gus lebih mirip selebritias ketimbang pewaris tradisi intelektual pesantren. Akibatnya, daya kritis ikut menghilang. Trah keturunan kiai yang awalnya menjadi harapan akan hadirnya sosok penerus dalam penegas moral dan pengingat keadilan memudar. Ironisnya, usai pengajian malah sibuk berpose bersama para lawan jenis, lalu menormalisasi mencium pipi anak kecil, di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren.

Kondisi ini berbahaya, ketika seseorang yang memiliki relasi kuasa dengan melakukan hal yang tabu. Masyarakat kehilangan salah satu sandaran sebagai penjaga moral masyarakat melalui agama. Sebaliknya, publik hanya mendapat pertunjukan “kesalehan visual” seseorang yang bergelar Gus. Simbol status sosial tersebut menjadi identitas prestise. Simbol ini menjadi modal sosial yang menarik, hingga terjadinya desakralisasi gelar dan fungsionalisme kosong.

Memaknai Ulang Gelar Gus sebagai Trah Kiai

Gelar Gus sebagai “status sosial kosong” tanpa kontribusi nyata. Ketika sebuah popularitas menjadi. Dalam Islam, semua manusia sama, dan yang membedakannya adalah tingkat ketakwaan. Gelar Gus dalam konteks ini menjadi dogmatis, bebas kritik serta memperkuat budaya “kultus figur”.

Gelar “Gus” sering menjadi bobot simbolik yang lebih tinggi dibanding “Ning”. Dalam banyak konteks, peran kepemimpinan publik lebih sering memilih Gus untuk menjadi rujukan daripada Ning. Ning sering berada di dalam peran domestik atau pendidikan dalam pesantren, sehingga pengaruh publik terbatas jika perbandingannya dengan kiprah Gus.

Ketika Gus tampil dengan gaya hidup glamor, mobil mewah, barang bermerek, muncul pertanyaan: apakah gaya itu konsisten dengan pesan dakwah yang menekankan kesederhanaan. Ada ketegangan antara ekspektasi masyarakat terhadap kesederhanaan ulama vs kenyataan gaya hidup Gus tertentu. Potensi elitisme, apabila Gus menjadi simbol status tinggi, memunculkan sekat sosial antara santri “kelas bawah” dan “kelas atas”, mengarah ke kasta internal.

Harapan bahwa santri harus “naik kelas” agar layak mengikuti gaya Gus dapat membebani masyarakat secara ekonomi dan social. Fenomena Gus seharusnya tidak hanya menjadi glamor simbolik, tapi harus memiliki kontribusi nyata, substansi ilmiah, keagamaan, dan sudah seharusnya peran Gus membawa makna yang konstruktif.

Gus dan Relasi Kuasa dalam Isu Kekerasan Seksual

Otoritas keagamaan, melalui gelar Gus berpotensi menciptakan ketimpangan kekuasaan yang memancing terjadinya kekerasan seksual. Grooming behavior bisa terjadi secara langsung maupun terselubung. Video gus Elham saat mencium anak kecil dengan mengulum pipi adalah sesuatu yang sensitif, dengan melibatkan anak di bawah umur, di depan public dan dalam sorotan kamera.

Label Gus seharusnya menjadi perwakilan otoritas moral, spiritual, dan sosial, sehingga memiliki pengaruh besar terhadap jamaah, terutama santri dan masyarakat awam. Sayangnya relasi sosial ini bersifat patriarkal dan hierarkis, di mana jamaah memosisikan diri sebagai pihak yang harus taat, manut, atau sami‘na wa aṭa‘na.

Menurut teori Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya berada di tangan penguasa politik, tetapi juga melekat pada pengetahuan, wacana, dan otoritas moral. Dalam konteks “Gus”, ada tiga bentuk relasi kuasa yang sering muncul. Pertama, potensi terjadinya kuasa simbolik karena gelar Gus adalah sebagai gelar terhormat karena keturunan kiai, atau wali. Jamaah sulit mengkritik dan menolak perilaku “Gus” meski bahkan jika terjadi perilaku yang tidak senonoh.

Kedua adalah kuasa spiritual, di mana Gus mendapat anggapan memiliki karomah atau barokah. Sehingga perintah dalam sebuah permintaan sentuhan bisa dianggap bagian dari “ritual” dan sulit untuk menghindarinya. Bahkan bersentuhan sebagai anggapan untuk mendapat karomah, terlihat pula video Gus Elham yang menyentuh air minum dari jamaahnya. Jamaah merasa mendapatkan karomahnya.

Ketiga, kuasa sosial-ekonomi, di mana Gus punya akses terhadap dana, pendidikan, dan status sosial tinggi  sehingga memunculkan ketergantungan, terutama pada jamaah perempuan atau dhuafa. Jamaah sulit menolak perilaku tersebut, sama dengan menolak rezeki. Terlihat dalam video anak kecil tersebut tidak nyaman, namun berubah menerima ciuman karena mendapat uang saku sebagai imbalan bersedia mendapat ciuman di pipi. Video lainnya, jamaah sedang bertanya, namun justru menerima cat callling. 

Jeratan Hukum terhadap Kekerasan Seksual oleh Tokoh Agama

Kekerasan seksual tidak selalu berupa paksaan fisik, tetapi sering muncul melalui manipulasi spiritual. Contohnya, pelaku yang meyakinkan korban bahwa tindakan tertentu seperti mencium adalah normal dan wajar. Pemanfaatan posisi kuasa seperti sosok Gus menganggap dirinya “berhak” melakukan kontak fisik karena statusnya lebih tinggi.

Hal demikian adalah bagian gaslighting religius, di mana korban menjadi merasa berdosa atau tidak sopan jika menolak. Beberapa kasus di pesantren menunjukkan bahwa pelecehan bisa terjadi oleh tokoh dengan gelar “Gus”, dan sulit tindak lanjut ke ranah hukum karena korban takut menjadi sosok yang mencemarkan keturunan ulama atau menodai nama baik pesantren.

Menurut Kimberlé Crenshaw dalam perspektif feminisme interseksional, memberi penekanan bahwa perempuan di lingkungan religius mengalami penindasan berlapis. Penyebab terjadinya kekerasan seksual antara lain penyebabnya gender, kelas sosial, dan posisi religius. Karena posisi Gus berada dalam relasi kuasa, maka tanggung jawab etik dan hukumnya lebih besar, bukan sebaliknya.

Anak bukanlah objek rasa gemas manusia dewasa. Anaka adalah makhluk yang harus mendapat perlindungan. Pendidikan  perlindungan anak berawal dari kesadaran diri, bahwa setiap bentuk pelecehan, sekecil apa pun, tidak boleh mendapat ruang. Baik di rumah, sekolah atau panggung dakwah. Dalam hal ini, kita harus memahami pokok persoalan, bahwa setiap anak punya hak atas tubuhnya sendiri.

Dalam pendekatan sosio-legal, kekerasan seksual oleh tokoh agama tidak hanya pelanggaran moral saja.  Terjadinya kekerasan seksual di pesantren oleh tokoh agama adalah bentuk pelanggaran kepercayaan publik dan hukum pidana, hal ini tertulis dalam Undang-Undang Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022. []

 

 

 

 

 

 

Tags: CatcallingGawagisGrooming BehaviorKekerasan di PesantrenKekerasan seksual
Halimatus Sa'dyah

Halimatus Sa'dyah

Penulis bisa dihubungi melalui IG : Halimatus_konsultanhukum 2123038506

Terkait Posts

Presiden Meksiko Dilecehkan
Publik

Ketika Presiden Meksiko Dilecehkan: Membaca Kekerasan Seksual dari Perspektif Mubadalah

8 November 2025
Hari Santri Nasional
Publik

Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

24 Oktober 2025
Kekerasan Seksual
Publik

Mengapa Kita Tidak Boleh Melupakan Kasus Kekerasan Seksual?

21 Oktober 2025
Korban Kekerasan Seksual
Publik

Membela Korban Kekerasan Seksual Bukan Berarti Membenci Pelaku

14 Oktober 2025
Kekerasan Seksual Di Pesantren Gusdurian
Aktual

GUSDURian Dorong Kemenag dan KPAI Serius Terhadap Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren

1 September 2025
Makna Kemerdekaan
Publik

Makna Kemerdekaan di Mata Rakyat: Antara Euforia Agustus dan Realitas Pahit

8 September 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hari Pahlawan

    Refleksi Hari Pahlawan: The Real Three Heroes, Tiga Rahim Penyangga Dunia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inklusi Disabilitas: Job Fair DKI Jadi Langkah Kecil

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sulitnya Perempuan Penyandang Disabilitas dalam Melaporkan Kasus Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apa Itu Sempurna? Disabilitas dan Tafsir Ulang tentang Normalitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Prof. Alimatul Qibtiyah Sebut Silent Revolution sebagai Wajah Gerakan Perempuan Indonesia
  • Grooming Behaviour dan Pudarnya Nalar Kritis Para Gawagis
  • Alimat Teguhkan Arah Gerakan Perempuan Lewat Monev Sosialisasi Pandangan Keagamaan KUPI tentang P2GP
  • Inklusi Disabilitas: Job Fair DKI Jadi Langkah Kecil
  • Sulitnya Perempuan Penyandang Disabilitas dalam Melaporkan Kasus Kekerasan

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID