Ada anekdot dalam kalangan pesantren, namanya anekdot, maka wallahu a’lam kalau itu benar atau salah. Namun, kalau terkait Gus Dur, anggap saja benar. Sepakat? Aku sih, iyes. Anekdot apakah itu? Konon, saat maraknya perseteruan etnis di Papua ada salah satu rumah transmigran yang lolos dari serangan. Begitu rumah itu hendak dibakar nampaklah foto Gus Dur tergantung di dinding.
Apa yang terjadi? Para etnis Papua itu menyerukan pembatalan eksekusi. Mereka berkata, “Janganlah bakar. Ada bapak kita.” Mereka merujuk gambar Gus Dur yang tergantung di dalam rumah. Menarik jika mereka mengatakan bahwa Gus Dur adalah bapak mereka. Kita coba gali ingatan bagaimana Gus Dur sangat getol menyuarakan toleransi di saat beliau masih hidup. Semoga Allah selalu melapangkan kubur beliau. Al-Fatihah.
Medio 1990-2000-an Gus Dur senantiasa rajin mendatangi gereja. Beliau memenuhi undangan ke sana, bergurau bersama pemuka gereja dan bahkan menyalami mereka dan merangkul mesra. Apakah di kalangan pesantren tidak gonjang-ganjing? Jelas. Sebagian kalangan pesantren menganggap tindakan Gus Dur ini sangat ‘nyeleneh’ dan tidak populer bahkan mengundang kontroversi.
Balik kepada kalangan pesantren yang kurang memahami langkah Gus Dur, dulu. Mereka notabene tinggal di kampung dan bukan rahasia lagi bahwa kalangan pesantren yang berada di bawah lingkup Nahdlatul Ulama dinarasikan dalam kajian sejarah dan kebudayaan sebagai kaum Tradisional. See?
Bagaimana kondisi pedesaan yang berada di Jawa saat itu? Homogen dong, satu jenis masyarakat saja yang hidup berdampingan, semuanya Islam. Paling iya mereka sering bergesekan dengan kelompok masyarakat ahlul berkat dan bukan ahlul berkat. Nah, ini malah ada kelompok agama lain yang didekati Gus Dur dan dirangkul beliau, jelas bikin heboh. Apalagi Gus Dur tidak masuk dalam kalangan bukan siapa-siapa yang tak penting (sebaliknya, Gus Dur sangat penting sekali). Beliau adalah tokoh NU, putra pahlawan Nasional, cucu Kyai Kharismatik di kalangan Nahdliyyin, tokoh yang sangat penting sekali. Daebak.
Namun, kaum yang dibilang tradisionalis ini tidak memiliki watak yang agresif. Meskipun mereka tersebar ke pelosok pun mereka sangat memiliki ikatan kuat sami’na waatho’na pada kyai panutan dan itu adalah Gus Dur. Bermuara kepada ketakziman kaum tradisionalis kepada Syaikhona KH. Hasyim Asy’ari sang Guru Bangsa dan berlanjut kepada dzurriyah (keluarga beliau) yang saat Gus Dur masih hidup benar-benar menguat dalam segenap relung hati.
Hal ini nampak dalam tulisan Gus Dur yang berjudul “Tradisional belum tentu Kolot.” Mereka yang dibilang tradisionalis ini berusaha untuk belajar memahami. Jika pun mereka tidak paham maka akan bersikap ‘nderek kyai’. Ada kata-kata yang tercetus di kalangan pelajar saat itu, saat saya masih bersekolah mengatakan bahwa, “Ya wis ben. Wong iku Gus Dur. Mosok arep nyelewengkan agama, sih?” Karena sesuai dengan pengelompokan Clifford Geertz, Kaum Tradisional ini masuk ke kalangan santri yang hidup di pesantren dan mumpuni dalam bidang agama. Maka, Gus Dur tidak akan begitu.
Pada poin tadi bisa dilihat bahwa langkah Gus Dur mengenalkan toleransi itu tidak main-main. Gus Dur menjawab tudingan para tokoh lain yang menuduh sikap beliau sangat berani dengan mengatakan bahwa, “saya ke gereja itu mengajar bukan menjadi murid.” Sebuah alasan yang kemudian didukung oleh Kyai Sepuh Krapyak yakni Kyai Ali Maksum, “Kalau Gus Dur tidak ke gereja maka Al-Qur’an tidak didengarkan oleh orang Kristen.”
Sementara wajah Islam yang dilihat selama ini oleh mereka yang minoritas adalah Islam yang intoleran. Di dunia internasional apalagi, Islam malah dikenal dengan teroris. Sungguh miris, padahal bukan Islam selaku ajarannya melainkan kekolotan segelintir pemeluknya yang tidak bisa menahan gejolak.
Bisa diartikan, sikap Gus Dur ini bermaksud ingin menunjukkan sisi lain Islam. Menunjukkan dalil-dalil kerukunan yang ada dalam Al-Qur’an sehingga menampilkan wajah Islam yang ramah yang tidak banyak diekspos media, yang sering dianggap “murtad” gaya lain oleh mereka yang tidak bersepakat. Ini, Gus Dur. Lho. Geramku pada mereka yang mainnya kurang jauh.
Pada kalangan santri hal ini memang awalnya menjadi masalah tetapi kemudian lambat laun menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan dengan bersepakat pada ide-ide Gus Dur, dengan gagasannya tentang toleransi, juga dengan cerminan kerukunan antar umat yang selalu beliau dengungkan. Dengan gebrakan Gus Dur inilah, kaum santri jauh lebih terbuka dengan konsep “Liyo”(orang lain, kalangan lain) yang dikenalkan oleh Gus Dur, sehingga pada tahap ini membayangkan keragaman, membayangkan ke-Indonesiaan yang besar dan rumit ini menjadi lebih mudah.
Gus Dur kemudian menyampaikan jawaban normatif atas setiap pertanyaan di benak banyak orang tentang sikapnya dengan menunjukkan bahwa orang Islam tidak punya alasan untuk berbuat kasar, tidak terpuji dan keras kepada kelompok lain yang keyakinannya berbeda. Hal ini juga merujuk pada etika kebangsaan yang harus dipahami, bahwa hak beragama ini diakui oleh negara dan dijamin konstitusi.
Sayangnya, masih banyak kaum intoleran dan inkonstitusional yang masih sibuk merampas arti kata toleransi ini tadi. Sehingga, perwujudan semangat toleransi ini akan menjadi pekerjaan rumah semua pemeluk agama yang memang mendambakan kedamaian. Karena, upaya ini bersikap saling maka tidak bisa jika berjalan pada satu sisi saja. Salam damai. Semoga Rahmat Tuhan selalu tercurah kepada kita semua. Amin. []