Mubadalah.id – Meneladani Gus Dur merawat Indonesia. Demikian tema Tunas (Temu Nasional) jaringan Gusdurian pada 29-31 Agustus yang lalu di Jakarta. Bicara teladan Gus Dur, dalam tradisi intelektual Gusdurian, kita mengenal konsep 9 nilai utama Gus Dur; ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi.
Nilai-nilai itu disarikan melalui himpunan pemikiran dan teladan Gus Dur. Dalam banyak gagasan yang ia tuliskan dan laku beragama yang ia tunjukkan.
Meneladani Gus Dur dalam Menyikapi Perbedaan
Kemanusiaan menjadi satu di antara 9 nilai utama Gus Dur. Bahkan, sebagaimana kata Husein Muhammad (Buya Husein) dalam Samudra Kezuhudan Gus Dur, manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian utama dalam pemikiran dan aktivisme Gus Dur.
Gus Dur mendambakan Indonesia rumah bersama dan kondisi di mana manusia dapat hidup bersama, meski dalam status identitas yang berbeda. Entah itu berbeda agama, paham beragama, etnis, dan status perbedaan lainnya.
Untuk alasan ini, kita tahu Gus Dur banyak membela mereka yang tertindas. Ia mau membela etnis Tionghoa yang termarjinalkan oleh sistem Orde Baru. Ia mau memahami keinginan orang-orang Papua yang sering terabaikan oleh pusat. Dan, begitu banyak sikap pembelaan Gus Dur lainnya, yang memperlihatkan teladan kemanusiaan di tengah keragaman Indonesia.
Sebagaimana kata Buya Husein, Gus Dur bukan tidak paham bahwa mungkin ada yang keliru, atau ada yang tidak ia setujui, dari orang-orang yang dibelanya. Gus Dur paham bahwa ada banyak perbedaan dalam masyarakat Indonesia. Dan, ia juga paham bahwa perbedaan itu tidak menjadi alasan untuk membenarkan sikap diskriminatif, apalagi sampai tindak kekerasan.
Cara pikir itu dapat kita lihat dalam pembelaan Gus Dur terhadap kelompok Ahmadiyah. Kata Gus Dur, “Kalau membuat propaganda bahwa Ahmadiyah sesat atau bersalah, ya, silakan. Tapi, kalau meniadakan Ahmadiyah, itu tidak betul, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir.” (Dilansir dari NU Online).
Dalam hal ini, Gus Dur meneladankan kalau membela Ahmadiyah (dan kelompok lainnya) tidak harus menjadi Ahmadiyah. Tidak pula harus mengakui kebenaran mereka. Pada dasarnya, ya kita berbeda, dan yang beda tidak perlu dipaksa untuk disama-samakan. Kesadaran berbeda itu ada. Dan, dalam teladan Gus Dur, kesadaran berbeda kita sertakan dengan kesadaran kemanusiaan, yang membantu kita menerima kondisi Indonesia sebagai rumah bersama.
Indonesia Rumah Bersama
Cara pandang mayoritarianisme, yang memandang seolah paling berhak atas Indonesia hanya mayoritas, sangat bertentangan dengan teladan yang Gus Dur ajarkan. Indonesia bagi Gus Dur adalah rumah bersama, di mana setiap masyarakatnya berhak hidup secara adil dan setara.
Kenapa Gus Dur mau membela mereka yang berbeda dengannya? Kenapa Gus Dur, yang punya privilese sebagai tokoh mayoritas, mau berbagi ruang hidup dengan minoritas di Indonesia?
Hal itu tidak lepas dari Islam yang ia pahami. Sebagaimana dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur menjelaskan, “Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-Muslim.”
Menurut Gus Dur, pandangannya itu sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surah al-Anbiya ayat 107: wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin. Kata al-alamin dalam ayat ini Gus Dur tafsirkan sebagai umat manusia secara umum. Oleh karena itu, dalam ajaran Gus Dur bunyi ayat ini; “tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia.”
Pluralisme Gus Dur dalam hal ini tidak sekadar percabangan dari kemanusiaan, melainkan juga dari ketauhidan. Dari agama, yang ia yakini sebagai jalan menuju selamat. Dan, dalam ajaran Gus Dur, keselamatan hidup di dunia tidak hanya untuk sesama Muslim. Cinta kasih Islam melewati sekat-sekat keummatan. Ia menembus batas hingga menyentuh umat berbeda agama.
Islam sebagaimana yang Gus Dur pahami itu mendorong pada kesadaran Indonesia sebagai rumah bersama. Sadar bahwa masyarakat kita tidak homogen. Meski secara keseluruhan Indonesia mayoritas Muslim, namun masyarakat kita heterogen. Ada umat yang berbeda agama. Bahkan, ada juga seummat yang berbeda paham beragama.
Dalam kondisi beragam ini, Gus Dur meneladankan Islam yang membawa rahmat bagi semua penghuni rumah yang kita sebut Indonesia. []