Mubadalah.id – Jum’at pagi itu, Mbak Lisa (Alissa Wahid) sedang memberi kuliah umum di hadapan ratusan orang yang tergabung dalam komunitas Gusdurian. Ketika slide di layar menampilkan gambar Gus Dur dengan kalimat “DPR dan Taman Kanak-kanak”, Mbak Alissa seolah seperti tersedak sejenak. Ia melanjutkan kalimatnya seakan sedang menahan kesedihan yang mendalam.
“Iya, saat ini dunia politik kita sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi berada pada ancaman yang cukup serius.”
Kalimat itu terucap dengan nada sedih, lalu suasana menjadi hening selama beberapa detik. Kalimat Mbak Alissa secara otomatis memicu semua orang di ruangan itu untuk bersikap hening, lalu berdoa agar peristiwa tragis yang baru saja menimpa Affan Kurniawan tidak kembali terjadi di tempat lain.
Affan Kurniawan adalah pengendara ojek online yang meregang nyawa akibat dilindas mobil rantis yang dikendarai oleh anggota Brimob di wilayah Pejompongan, Jakarta. Peristiwa itu memicu kemarahan publik, mengingat korban bukanlah bagian dari para demonstran, bukan pelaku kekerasan terhadap siapapun. Affan hanya hendak mengantarkan pesanan makanan, namun apes, jalannya tertutup oleh kerumunan massa yang sedang berunjuk rasa, lalu terjadilah kekerasan pada dirinya.
Acara Temu Nasional Gusdurian di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta terselenggara di tengah duka. Aksi perusakan massa terhadap kantor-kantor polisi dan fasilitas publik marak terjadi. Penjarahan dan perusakan di beberapa rumah politisi pun tAk terhindarkan. Bahkan kantor kepolisian sektor yang dekat dengan Asrama Haji mengalami kerusakan. Beberapa mobil milik polisi yang terparkir di depan kantor rusak parah, dan ada bekas sepeda motor yang terbakar.
Nilai Kesatryaan
Ada sembilan nilai dalam komunitas Gusdurian yang Mbak Alissa Wahid sampaikan pagi itu. Namun saya paling terkesan dengan salah satu nilai yang jarang saya temui di komunitas lain, yaitu nilai kesatryaan.
Berani bersikap kesatria sering diajarkan di lingkungan militer, kepolisian, sekolah kedinasan, dan lembaga pemerintah. Ia menjadi doktrin yang sering dikumandangkan dalam upacara, mimbar keagamaan, hingga rapat kedinasan. Namun, sangat sedikit contoh nyata yang bisa kita jadikan teladan.
Di komunitas Gusdurian, nilai ini menjadi salah satu dari sembilan nilai utama. Saya berpandangan bahwa salah satu masalah besar bangsa ini adalah absennya sikap kesatria dari para pemimpin bangsa.
Secara sederhana, sikap kesatria adalah berani bertanggung jawab atas apa yang telah terucapkan dan kita lakukan. Ada kesesuaian ucapan dan tindakan. Kesatria berarti berani jujur, mengakui bahwa dalam lingkaran kekuasaan seorang pemimpin ada masalah yang harus terselesaikan. Termasuk berani mengakui bahwa ancaman terhadap negara ini justru bersumber dari lingkaran dekat para pemimpin—baik itu menyangkut integritas, kesetiaan terhadap janji, hingga kemampuan menjalankan amanah.
Sebaliknya, sikap defensif, gemar menghindar dari masalah, dan suka menyalahkan pihak lain—termasuk selalu menyalahkan pihak asing—tanpa menyebut secara jelas siapa yang dimaksud, adalah berlawanan dengan sikap kestrya. Sikap seperti itu seperti orang yang gemar menyalahkan “setan” atas perbuatan kelirunya, padahal setan tidak bisa kita mintai pertanggungjawaban.
Sikap pengecut itu bisa terlihat pada politisi yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika rakyat meminta dialog tentang kebijakan mereka, tidak ada satu pun yang berani tampil. Bahkan ketika rakyat mendatanginya, mereka kabur, lari tunggang langgang hingga pergi ke luar negeri.
Respek kepada Gusdurian
Sebagai warga Muhammadiyah, saya merasa nyaman berada di tengah-tengah kawan-kawan Gusdurian. Saya tidak merasa menjadi minoritas. Komunitas Gusdurian benar-benar menjadi rumah bersama yang melampaui perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, bahkan afiliasi organisasi keagamaan.
Bisa jadi, putri-putri Gus Dur yang selama ini mengampu komunitas Gusdurian tentu memiliki afiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), namun Gusdurian bukanlah NU, dan pegiatnya juga bukan hanya dari kalangan NU. Maka wajar jika ketika waktu salat Jumat tiba, banyak peserta tidak menunaikannya, karena mereka memang bukan Muslim yang berkewajiban menjalankan salat Jumat.
Kekaguman saya kepada Gerakan Gusdurian muncul dari kemampuan putri-putri Gus Dur dalam mengelola dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan yang terwariskan oleh Gus Dur kepada khalayak luas. Banyak tokoh hebat yang meninggalkan warisan pemikiran baik, tapi sangat sedikit keluarga dekatnya yang mampu merawat warisan itu menjadi gerakan nyata di lapangan. Alissa Wahid adalah salah satu perempuan langka yang mampu mewujudkan hal tersebut.
Yang lebih mengagumkan, Gerakan Gusdurian tidak terbangun dengan kekuatan uang atau jabatan. Mbak Alissa bukan pejabat publik, bukan konglomerat, dan tidak bisa menjanjikan jabatan ataupun uang kepada siapa pun. Gerakan ini terbangun atas nama nilai dan kebersamaan.
Temu Nasional Gusdurian
Dalam acara Temu Nasional ini misalnya, ratusan peserta datang dari Sabang sampai Merauke datang dengan biaya sendiri. Bantuan dana dari para pihak pun hanya digunakan untuk menyewa ruangan, konsumsi nasi kotak, dan penginapan sederhana di Asrama Haji. Tidak ada honorarium besar bagi narasumber. Semua peserta saling bahu-membahu.
Meski begitu, acara berjalan sangat rapi dan terorganisasi dengan baik. Saya beberapa kali dihubungi panitia terkait penjemputan, penginapan, bahkan ditanyakan jika saya memiliki kebutuhan khusus. Mereka bukan event organizer profesional, tapi mahasiswa-mahasiswa yang digerakkan oleh hati dan nilai.
Sebagai sebuah gerakan yang teguh menyuarakan persamaan hak, demokrasi, kerukunan dan keadilan lingkungan, saya merasa berkewajiban untuk mendukung Gusdurian. Mereka hadir untuk membersamai warga negara yang teraniaya, yang hak politik dan ibadahnya dilanggar, dan Gusdurian akan menyampaikan keluhan-keluhan itu kepada pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Itulah sedikit wajah Gerakan Gusdurian yang saya kenal. Mbak Alissa dan kawan-kawan tidak pernah lelah untuk “ngeloni” (menemani) warga yang sedang berkeluh kesah karena hak-haknya terabaikan.
Catatan ini adalah ungkapan kekaguman saya sebagai warga Muhammadiyah terhadap Gerakan Gusdurian. Tentu ini tidak mewakili organisasi besar Muhammadiyah, melainkan suara seorang warga Muhammadiyah yang telah beberapa kali mengikuti kegiatan Gusdurian dan merasakan nilai-nilainya secara langsung. []