Mubadalah.id – Jika hadis anjuran menikah cukup populer, teks hadis tentang Nabi Saw melakukan kerja-kerja rumah tangga ini tidak populer. Sekalipun teks ini juga diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Dalam teks ini, Sayidah Aisyah r.a. menjawab pertanyaan Aswad bin Yazid tentang apa yang dilakukan Nabi Saw. di dalam rumah, “Di dalam rumah, Nabi Saw. biasa melayani kebutuhan keluarganya. Ketika datang waktu shalat, baru Nabi Saw. bergegas menunaikan shalat.” (Shahih al-Bukhari, no. 680).
Teks hadis ini juga berulang diturunkan Imam Bukhari pada Hadis nomor 5417 dan 6108. Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya (nomor 2677) dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (nomor 24863, 25588, dan 26349).
Dalam riwayat Ahmad, Nabi Saw biasa memperbaiki sandal, menambal atau menjahit baju, dan melakukan kerja-kerja rumah tangga yang lain (Musnad Ahmad, no. 25388 dan 25978).
Dari hadis ini, mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi’i yang kebanyakan umat Islam Indonesia anut, mengatakan kerja-kerja rumah tangga itu bukan kewajiban istri, melainkan suami.
Sekalipun demikian, pada praktiknya yang berlaku di Indonesia dan hampir seluruh umat Islam dunia, adalah sebaliknya. Istri dituntut untuk melakukan kerja-kerja rumah tangga sebagai kewajiban agama. Bahkan sebagai kodrat yang melekat pada tubuh perempuan.
Perspektif Mubadalah
Nah, dalam perspektif mubadalah, teks hadis di atas harus kita temukan dulu makna dasarnya, yaitu tentang kerja-kerja rumah tangga dan pelayanan terhadap keluarga adalah bagian dari teladan dan sunnah kenabian.
Ia bernilai Sunnah, ibadah ghair mahdhah, baik, dan memperoleh apresiasi di mata Nabi Muhammad Saw.
Karena ia bernilai baik, maka secara mubadalah, ia menjadi baik untuk dilakukan laki-laki maupun perempuan. Yaitu sebagai individu sama-sama mulia dan bermartabat (martabah) untuk disapa oleh ajaran dan teladan kenabian.
Laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri sama-sama kita dorong untuk aktif terlibat dalam kerja-kerja rumah tangga, sebagai kerja kebaikan (maslahah).
Keduanya juga berhak atas hasil baik dari kerja-kerja rumah tangga tersebut (mashlahah).
Yang fisiknya lebih kuat, yang tenaganya lebih tersedia, yang kesempatannya lebih terbuka, yang kapasitasnya lebih banyak. Bahkan yang keahliannya lebih mumpuni, harus lebih aktif memulai dan memfasilitasi untuk memastikan semua anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya. Terutama sebagai praktik dari prinsip keadilan.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.