Mubadalah.id – Semuanya berawal dari layar kaca, ketika saya sedang menonton serial drama Korea When Life Gives You Tangerines. Niat awal saya sederhana, yakni sekadar ingin menikmati chemistry manis antara tokoh Oh Ae-sun dan Yang Gwan-sik yang diperankan dengan apik.
Namun, seiring episode berjalan, fokus mata saya perlahan teralihkan. Di balik kisah asmara yang mendebarkan, perhatian saya justru tersedot pada latar belakang sosial yang begitu lekat dengan denyut nadi Pulau Jeju: para Haenyeo.
Tak Seindah di Layar Kaca
Di layar, mereka tampak eksotis dan tangguh—perempuan-perempuan penyelam yang menari di kedalaman laut tanpa bantuan tabung oksigen, muncul ke permukaan dengan jaring penuh hasil laut.
Rasa penasaran mendorong saya menelusuri lebih jauh siapa sebenarnya mereka. Penelusuran itu membawa saya pada fakta membanggakan: UNESCO telah menobatkan budaya Haenyeo sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan pada tahun 2016.
Dunia bertepuk tangan. Namun, saat saya menggali lebih dalam di balik penghargaan berkilau itu, saya menemukan kisah lain yang tak tertulis di naskah drama. Ada ancaman besar yang mengintai, sebuah tragedi sunyi yang sedang menggerogoti keberlangsungan tradisi berabad-abad ini.
Di balik romantisasi layar kaca, terdengar suara siulan melengking yang ganjil di laut Jeju. Hwiii… Hwiii…
Itu adalah Sumbisori—suara nafas pertama yang dihembuskan Haenyeo setelah semenit lebih menahan nafas di dasar laut. Hari ini, di telinga siapa pun yang memiliki hati nurani, suara itu tak lagi terdengar sebagai tanda kehidupan, melainkan seperti sebuah requiem—lagu pengantar kematian. Mereka tidak mati karena tenggelam oleh ombak. Mereka sedang dibunuh perlahan oleh “demam” yang diderita lautan.
Fakta yang Menampar Wajah Kita
Mari kita berhenti sejenak dari pesona drama Korea dan bicara data realita. Empati tanpa fakta seringkali berakhir sebagai sentimentalitas belaka, tetapi fakta tanpa empati adalah kekejaman. Di sini, kita butuh keduanya.
Di balik plakat penghargaan UNESCO itu, tersembunyi statistik yang mengerikan. Berdasarkan data pemerintah Provinsi Jeju hingga tahun 2024, jumlah Haenyeo aktif telah menyusut drastis menjadi hanya sekitar 2.839 orang. Bandingkan dengan era keemasan tahun 1960-an yang mencapai 26.000 orang. Lebih dari 90% dari mereka kini berusia di atas 60 tahun.
Mereka adalah nenek-nenek tangguh yang menolak menyerah. Namun, regenerasi terputus bukan semata karena anak muda Jeju memilih kenyamanan kafe di Seoul, tetapi karena “kantor” para Haenyeo—yaitu lautan—sedang mengalami kebangkrutan ekologis.
Ketika Laut Mengalami “Demam” Tinggi
Inilah poin di mana logika kita harus bekerja keras memahami kausalitasnya. Laporan terbaru dari National Institute of Fisheries Science (NIFS) Korea Selatan pada awal 2024 memberikan tamparan keras bagi kita semua.
Tercatat, suhu rata-rata permukaan laut di perairan Korea pada tahun 2024 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pengamatan (sejak 1968), menyentuh angka 18,74°C. Angka ini melonjak 0,65°C dari rekor tahun sebelumnya.
Lebih mengerikan lagi, data jangka panjang (1968–2023) menunjukkan bahwa laut di sekitar Semenanjung Korea memanas dengan kecepatan 1,44°C, sementara rata-rata global hanya berkisar di angka 0,5°C hingga 0,6°C. Artinya, laut tempat para Haenyeo mencari nafkah memanas 2,6 kali lebih cepat dibandingkan rata-rata lautan lain di dunia.
Bagi kita, kenaikan satu atau dua derajat mungkin hanya berarti memutar tombol AC lebih kencang. Tapi bagi ekosistem laut, ini adalah kiamat.
Gurun Putih di Dasar Samudra
Kenaikan suhu ekstrem ini memicu fenomena yang disebut Whitening Event atau pengapuran. Bebatuan karang yang dulunya rimbun tertutup Gamtae (rumput laut besar khas Jeju) kini berubah menjadi putih pucat, mati, dan keras seperti tulang belulang.
Hutan laut (kelp forests) yang menjadi “rumah” dan “dapur” bagi biota laut kini lenyap. Ketika rumput laut mati karena air yang terlalu panas, kerang abalon (pauhi) dan siput laut, yang merupakan komoditas utama tangkapan Haenyeo, kehilangan sumber makanan. Rantai makanan putus. Keseimbangan ekosistem terancam.
Bayangkan ironinya: Para perempuan ini menyelam tanpa tabung oksigen, memegang teguh metode panen tradisional yang ramah lingkungan, namun hasil tangkapan mereka merosot tajam. Keranjang jaring (Tewak) mereka seringkali naik ke permukaan dalam keadaan setengah kosong.
Bukan karena mereka kehilangan keahlian menyelam, tetapi karena ladang mereka telah hangus terbakar oleh pemanasan global. Mereka adalah petani yang lahannya dibuat gersang oleh asap industri ribuan kilometer jauhnya.
Eko-Feminisme: Sebuah Refleksi tentang “Cukup”
Dalam praktik menyelam mereka (Muljil), terkandung filosofi eko-feminisme yang sangat dalam. Haenyeo mengajarkan etika Qana’ah (merasa cukup) yang radikal.
Keterbatasan kapasitas paru-paru mereka—yang hanya mampu menahan nafas 1 hingga 2 menit—sebenarnya adalah mekanisme kontrol alamiah. Tuhan seolah berkata lewat tubuh perempuan-perempuan ini: “Ambillah rezekimu hanya sebanyak nafasmu.”
Mereka tidak menjarah laut dengan pukat harimau. Mereka tidak mengeruk dasar laut sampai habis. Hubungan mereka dengan laut adalah hubungan Ibu dan Anak, yang merawat dan menyayangi, bukan hubungan Tuan dan Budak yang eksploitatif.
Haenyeo adalah antitesis dari maskulinitas kapitalisme industri yang serakah. Mereka adalah penjaga gawang terakhir dari etika keberlanjutan. Namun, ketangguhan mereka ada batasnya. Ketika kita melihat seorang nenek berusia 80 tahun keluar dari air dengan wajah lelah dan jaring kosong, kita sedang melihat kekalahan kearifan lokal melawan kerakusan global.
Tanpa Kita Sadari, Kitalah Pelakunya
Di sinilah letak provokasinya. Lantas, siapa algojo tak terlihat yang perlahan mencekik tradisi Haenyeo? Siapa yang bertanggung jawab memutar tombol pemanas hingga suhu laut Jeju melonjak 2,6 kali lebih cepat?
Jawabannya pahit: Tanpa kita sadari, kita sendirilah yang mempercepat kiamat ekologis ini.
Kenyamanan modern yang kita nikmati setiap hari adalah pelurunya. Obsesi kita pada pertumbuhan ekonomi tanpa henti, kebiasaan konsumtif kita, dan ketidakpedulian kita pada jejak karbon adalah yang memanaskan air di Jeju. Setiap kali kita membuang makanan, setiap kali kita menggunakan energi kotor, kita sedang menaikkan suhu air yang mencekik napas para Haenyeo.
Sangat mudah bagi kita untuk mengagumi foto-foto Haenyeo di majalah perjalanan, menyebut mereka “eksotis” dan “inspiratif”. Tapi kekaguman itu adalah kemunafikan jika kita tidak mau mengubah cara hidup kita. Kita meromantisasi perjuangan mereka di media sosial, sementara gaya hidup kita justru memperberat beban yang harus mereka pikul di dunia nyata.
Sanggupkah Kita Menahan Nafas Kita Sendiri?
Artikel ini bukan sekadar obituari untuk sebuah tradisi yang sekarat. Ini adalah cermin retak bagi peradaban kita.
Jika Haenyeo—manusia yang hidupnya paling selaras dengan alam—saja terancam punah karena krisis iklim, seberapa naif kita berpikir bahwa kita akan selamat di dalam gedung beton ber-AC kita? Laut tidak bisa kita suap. Alam tidak bisa kita negosiasi.
Sebelum Sumbisori terakhir benar-benar terdengar dan menghilang tertelan ombak sejarah, kita dihadapkan pada satu pertanyaan besar yang menuntut jawaban jujur: Sanggupkah kita mulai belajar “menahan nafas” kita sendiri?
Menahan nafas dari konsumsi berlebihan dan kerakusan mengeksploitasi alam. Lalu, menahan nafas dari ego yang merasa manusia adalah penguasa bumi. Karena jika kita tidak mulai menahan diri sekarang, suatu saat nanti, bukan hanya para Haenyeo yang akan berhenti bernafas. Bumi ini sendiri yang akan kehabisan nafas, dan tidak ada permukaan air yang bisa kita tuju untuk menghirup udara segar lagi. []











































