Mubadalah.id – Jika merujuk pada pembahasan hukum Islam klasik, memeluk agama, baik Islam maupun yang lain, adalah keputusan sangat besar yang memerlukan kesadaran penuh dan perhatian utuh. Karena itu, pilihan seorang anak yang masih di bawah umur, untuk masuk atau keluar dari agama tertentu tidak diperhitungkan.
Pilihan mereka dianggap minor dan tidak memiliki kekuatan legal. Sesuai dengan pernyataan suatu teks hadits yang menjadi kaidah umum bahwa semua perbuatan anak di bawah umur sampai ia menjadi dewasa tidak memiliki tanggungjawab legal (Sunan Abu Dawud, No. 4400).
Pilihan seorang anak dalam beragama mengikut pada agama orang tuanya. Keputusan hukum ini dberdasarkan pada ayat al-Qur’an (QS. at-Thur: 21) dan teks hadits yang sangat populer tentang agama anak yang akan ikut agama kedua orang tuanya (Shahih al-Bukhari. No. 1373).
Detailnya, di dalam hukum fikih, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, memang ada banyak perbedaan pandangan, yaitu antara anak di bawah umur yang belum bisa membedakan kebaikan dan keburukan (ghair mumayyiz) dengan yang sudah bisa membedakan (mumayyiz).
Perbedaan Agama
Perbedaan pandangan juga terjadi, ketika kedua orang tua memeluk agama yang berbeda. Katakanlah, yang satu beragama Islam, yang lain beragama selain Islam. Anak akan mengikuti agama siapa?. Apakah mengikuti agama ayahnya? Ibunya?.
Begitupun mengenai seorang anak di bawah umur yang tertangkap sebagai tawanan perang. Apakah beragama seperti agama kaumnya atau kedua orang tuanya.
Sekalipun terjadi berbagai perbedaan dalam berbagai kasus di atas, kecenderungan umumnya adalah bahwa seorang anak di bawah umur, terutama yang ghair mumayyiz, tidak memiliki cukup kesadaran untuk memilih agama tertentu secara mandiri dan bertanggungjawab.
Sehingga anak harus mendapatkan kesempatan secara penuh untuk tumbuh kembang dalam suasana sosial-kultural keagamaan kedua orang tuanya. (Rul)