Mubadalah.id – Aisyah ra pernah menceritakan mengenai kedatangan seorang perempuan muda bernama Khansa binti Khidaim al-Anshariyah. Ia mengeluh karena ayahnya telah memberinya pasangan, padahal ia tidak menyukai. Kisahnya ini tercatat dalam Hadits yang artinya:
“Ayahku telah mengawinkan aku dengan anak saudaranya. la berharap dengan menikahi aku kelakuan buruknya bisa hilang. Aku sendiri sebenarnya tidak menyukanya.”
Aisyah mengatakan: “Kamu tetap duduk di sini sambil menunggu Rasulullah Saw”. Begitu beliau datang dia menyampaikan persoalannya tadi.
Nabi kemudian memanggil ayahnya, lalu memintanya agar menyerakan persoalan perjodohan itu kepadanya (anak perempuannya itu).
Si perempuan kemudian mengatakan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, aku sebenarnya menuruti apa yang telah diperbuat ayahku. Akan tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya para bapak/ayah tidak mempunyai hak atas persoalan ini.”
Hadits dengan teks yang sama atau dalam kasus serupa juga diceritakan oleh Ibnu “Abbas dan lain-lain. Dari hadits-hadits ini kita dapat memahami bahwa hak menentukan pasangan hidup atau jodoh sepenuhnya berada di tangan perempuan sendiri. Bukan ditentukan oleh orang lain, termasuk oleh ayahnya sendiri. []
Ijbar dan Wali Mujbir
Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini lalu menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa.
Pandangan ini penyebabnya karena suatu pemahaman terhadap apa yang kita kenal dengan hak Ijbar. Hak ijbar sebagian orang pahami sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.
Sebelum menjelaskan persoalan memilih pasangan (jodoh) ini. Maka perlu lebih jauh kita jelaskan terlebih dahulu secara singkat mengenai beberapa kata dalam bahasa arab yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan paksaan/memaksa atau yang memiliki konotasi yang sama. Antara lain adalah kata Ikrah dan Taklif. Kedua kata ini kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan paksaan atau memaksa, atau terbebani untuk mengerjakan sesuatu. []