Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa harta istri merupakan harta perolehan pribadi istri dan ia berkuasa penuh atasnya. Maka atas dasar tersebut, suami tidak boleh menggunakannya, kecuali istri sudah memberikan izin.
Sebagai pemilik harta, istri juga memiliki hak, kewajiban, sekaligus tanggung jawab atas hartanya di dunia dan akhirat.
Kewajiban zakat juga, kata Nyai Badriyah, melekat pada istri yang memiliki harta gono gini dan harta pribadi yang sudah mencapai nishab.
Demikian pula perintah berinfak, bersedekah, berjuang, serta mentasharrufkan (mempergunakan) harta sesuai perintah agama.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah mengungkapkan, dengan harta pribadinya, istri berhak pula membantu orang tua, keluarga dan masyarakatnya tanpa harus izin dari suami.
Demikian pula harta suami : harta bawaan, warisan, mahar, hibah, shadaqah, gaji, dan penghasilan pribadi istri adalah hak pribadi istri.
Suami tidak boleh menggunakan harta istrinya tanpa seizin istrinya, begitu pula sebaliknya, kecuali yang sudah disepakati atau sudah jelas diketahui bahwa pemilik harta pasti merelakan penggunaan hartanya oleh pasangannya.
Dalam fikih praktik seperti ini ada kaedahnya, yakni :
يجوز آخدْ ما ل الغير مع ظن رضا ه
Artinya : “Boleh menggunakan harta kekayaan pihak lain dengan dugaan kuat dia merelakannya.”
Singkatnya, istri punya hak penuh atas hartanya dan sekaligus punya tanggung jawab penuh atas harta pribadinya itu baik di dunia dan di akhirat. (Rul)