Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menyampaikan Nabi adalah manusia yang hidupnya sehat dan bahagia.
Kebahagiaan Rasulullah Saw, menurut Nyai Badriyah, bukan karena harta dan kedudukan, melainkan karena beliau telah menemukan hakikat kebahagiaan yang tidak lagi dikaitkan dengan kepemilikan harta, kedudukan sosial, prestige, dan lain-lain.
Ibnu Qayyim mengkategorikan 3 level kebahagiaan.
Pertama, kebahagiaan eksternal, yakni kebahagiaan karena adanya harta, kekuasaan, kepemilikan, dan lain-lain.
Kedua, kebahagiaan internal yang datang dari dalam diri berupa kesehatan, kekuatan, minat, hobi, dan lain-lain.
Ketiga, kebahagiaan moral yang datang dari hati dan jiwa. Inilah kebahagiaan hakiki dan tertinggi manusia, yang dihasilkan dari iman, ilmu, ibadah, amal, akhlak, mental dan karakter.
Ibadah Harus dengan Rasa Ikhlas dan Rasa Syukur
Dalam konteks ini, Nyai Badriyah menyebutkan bahwa Nabi adalah manusia yang sangat berbahagia karena telah meraih pencapaian jiwa dan hati yang tertinggi. Ibadah dengan ikhlas dan penuh syukur adalah salah satu kunci kebahagiaan beliau.
Saat manusia sedang sehat, sukses, berada di level atas kehidupan, beribadah dengan ikhlas, penuh penghayatan dan penuh rasa syukur akan melengkapi nikmat-nikmat itu dengan kenikmatan yang lebih hakiki, yakni kenikmatan spiritual.
Ibadah yang demikian, menurut Nyai Badriyah, akan membawa kebahagiaan jiwa dan hati, serta menjaga diri agar selalu berada di orbit Allah.
Dengan hati, jiwa dan pikiran yang bersih, positif dan fokus pada Allah itu, tubuh pun akan menjadi lebih memiliki kekebalan karena energi prana yang positif terus memancar dalam setiap melakukan ibadah.
“Rasulullah senantiasa bugar meski memikul tugas kenabian yang maha berat.”
Saat manusia sakit pun, sebaiknya menjalani ibadah tetap dengan rasa syukur akan sangat membantu penyembuhan.
Syukur di saat sakit mewujud dalam kepasrahan kepada Allah, positive thinking dalam menyikapi sakit sebagai ujian keimanan dan sarana muhasabah. Berobat terus menjaninya tanpa sumpah serapah dan rasa nelangsa.
Ibadah pun kemudian menjadi terapi khusus yang dapat membantu syaraf-syaraf melakukan pemulihan sesuai fungsinya. (Rul)