Mubadalah.Id– Salah satu ajaran Islam yang teks-teksnya secara eksplisit (manthūq) menyapa laki-laki dan perempuan (mubādalah) adalah tentang menjaga kelamin. Ada dua istilah dalam al-Qur’an, hifzul furuj dan ihshan furuj. Keduanya, merujuk pada komitmen untuk menjaga dan memelihara kemaluan.
Dalam surat an-Nur (QS. 24: 30-31), secara tegas laki-laki dan perempuan diminta untuk menjaga kemaluan masing-masing. Dalam al-Mu’minun (QS. 23: 5), kebahagiaan disematkan kepada mereka yang menjaga kemaluan.
Baca juga: ‘Ghodldlul Bashar’ Bukan Penundukan Mata
Sementara dalam al-Ahzab (QS. 33: 35), laki-laki yang mampu menjaga kemaluan mereka dan perempuan akan dijanjikan surga kelak di hari akhir. Ayat-ayat ini menggunakan ungkapan hifzul furuj, laki-laki yang menjaga kemaluan disebut hafizh dan perempuan disebut hafizhah.
Ayat-ayat lain menggunakan kata “ihshaan”, seperti untuk Nabi Maryam as yang suci dan menjaga diri (QS. Al-Anbiya, 21: 91). Al-Qur’an juga memuji para laki-laki (dengan sebutan muhshiniin) dan perempuan yang menjaga diri (dengan sebutan muhshanaat) (QS. An-Nisa, 4; 24-25; al-Maidah, 5: 5; dan an-Nur, 24: 4 dan 23).
Menjaga dan memelihara kemaluan, awalnya, diartikan sebagai segala tindakan preventif yang bisa menjauhkan seseorang dari hubungan seksual di luar pernikahan yang diharamkan.
Kesucian, karena itu, sering diartikan ketika seseorang tidak memiliki riwayat hubungan seks di luar nikah. Laki-laki maupun perempuan.
Jadi, kesucian bukan soal selaput dara yang belum sobek. Karena selaput dara bisa sobek karena aktivitas selain hubungan seks. Tetapi soal komitmen seseorang untuk tidak melakukan hubungan seks yang haram di luar nikah. Laki-laki maupun perempuan.
Pemaksaan hubungan seks, atau pemerkosaan, sekalipun di luar nikah, tidak dianggap sebagai sesuatu yang mencederai kesucian.
Karena, dalam Islam, seseorang tidak dianggap bertanggung-jawab dari sesuatu yang dipaksakan kepada dirinya (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 2121). Secara eksplisit, ayat al-Qur’an menyebutkan perempuan yang dipaksa (berhubungan seks di luar nikah) itu tetap suci dan diampuni dosa-dosanya (QS. An-Nur, 24: 33).
Baca juga: Kejantanan dan Kesucian dalam Perspektif Islam
Dalam metodologi Ushul Fiqh, ajaran hifz al-furuuj ini kemudian diintegrasikan dalam konsep hifz an-nasl, atau menjaga keturunan dan keluarga. Ini menjadi salah satu tujuan hukum syari’ah (maqashid syari’ah) yang lima, atau dikenal dengan al-kulliyat al-khams.
Al-kulliyat al-khams itu yakni hifz an-nafs (menjaga jiwa dan kehidupan), hifz ad-din (memelihara agama dan keyakinan), hifz al-‘aql (memelihara akal dan peradaban), hifz an-nasl (memelihara keluarga dan keturunan), dan hifz al-mal (memelihara harta dan perekonomian).
Dengan konsep hifz an-nasl, menjaga atau memelihara kemaluan tidak sekedar menjauhi perzinahan, tetapi juga memelihara kesehatan reproduksi, baik secara fisik, psikis, dan sosial.
Dalam perspektif mubadalah, konsep hifz an-nasl tidak hanya bersifat individual tetapi juga relasional. Sehingga, ketika dengan pasangan sah dalam pernikahan, menjaga kemaluan (hifz al-furuuj) juga berarti melakukanhya secara patut (ma’ruf), baik (thayyib), tidak menyakiti, tidak dengan paksaan, tetapi saling menyenangkan, dan saling memperhatikan kebutuhan dan keterbatasan masing-masing.
Baca juga: Melindungi dan Dilindungi Bukan Soal Laki-laki atau Perempuan
Hifz al-furuuj maupun hifz an-nasl, dalam perspektif mubadalah berlaku bagi laki-laki dan perempuan, satu sama lain saling menjaga agar tidak terlibat dan terjatuh pada tindakan-tindakan yang diharamkan, yang menistakan, dan yang mencedari harga diri dan kemanusiaan masing-masing.
Satu pihak tidak bisa dianggap yang paling bertanggung jawab dari yang lain, hanya karena jenis kelamin semata. Keduanya, laki-laki dan perempuan, sama-sama bertanggung-jawab.[]