Hijrah jangan jauh-jauh, nanti nyasar! adalah buku pertama karya Mbak Kalis Mardiasih yang saya baca. Pertama lihat cover dan baca judulnya saya langsung tertarik, judulnya memang menyuruh kita hijrah jangan jauh-jauh, tapi buku ini bukan bermaksud melarang kita untuk melakukan hijrah secara totalitas. Buku ini menyoroti tentang fenomena hijrah pada masa kini, yang menyadarkan saya kalau memang hal ini dirasakan dan dialami oleh banyak orang.
Buku ini merupakan sekumpulan esai yang terdiri dari Prolog dan lima bab yang masing-masing bab memiliki beberapa sub bab dengan 208 halaman. Cerita-cerita yang dihadirkan dalam kelima bab tersebut berisi pembelajaran, pandangan dan pengalaman pribadi penulis mengenai islam dan hijrah. Langsung saja saya bahas per-bab-nya.
Di bab pertama, Islam dan Kebaikan Anak-Anak. Tentang bagaimana agama tumbuh pada diri anak-anak bersama dengan kegembiraan. Anak-anak adalah jiwa suci yang tak memiliki rasa curiga. Anak-anak mau berteman dengan siapa saja. Anak-anak terkadang berkelahi dan marah, tetapi akan memaafkan kesalahan tanpa menyimpan dendam. Andai saja orang dewasa bisa beragama seperti kanak-kanak, membebaskan perasaan dari curiga dan rasa sakit hati.
Bapak dan Ingatan Masa Kecil yang Baik, adalah kisah yang paling saya suka dari bab ini. Ketika membaca bab ini saya seperti berkaca pada diri sendiri. Sejak saya menjadi mahasiswa perguruan tinggi Islam dan aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa, saya selalu bersikap sok pintar dengan menceramahi banyak hal, saya merasa menjadi lebih berpengetahuan dari orang tua saya sebab saya rutin mengikuti kajian. Betapa sombongnya saya! Astaghfirullah. Padahal orang tua sayalah yang mengajar dan membimbing saya sejak waktu kecil, hingga sebesar ini.
Bab kedua, Islam dan Kemanusiaan. Ada tujuh kisah dalam bab ini. Yang Sakral dan Yang Profan di Masjid Kita, adalah tulisan yang saya suka. Masjid adalah pertemuan dimensi sakral sekaligus profan. Ia dekat dengan hal-hal yang bersifat transendental dalam upaya perjamuan jiwa manusia kepada Tuhan.
Kesakralan itu kemudian melekat dengan identitas masjid yang biasa dan dijaga kesuciannya. Namun, di lain situasi, masjid juga menjadi begitu profan. Menjadi momentum politis untuk mempropagandakan sebuah ujaran dalam rangka menggiring opini massa, tujuan kampanye, memperoleh suara, serta pemenangan kekuasaan yang tidak terkait sama sekali dengan Tuhan
Masjid dalam konteks sejarah, seharusnya lebih dari banguan yang digunakan untuk ibadah-ibadah fisik. Ketika Nabi Muhamad membangun Masjid Nabawi pada 622 M, masjid itu adalah cikal bakal sebuah peradaban yang kelak menerangi kegelapan yang telah menaungi langit Arab beberapa abad. Masjid Nabawi sebagai pusat pendidikan dan pusat informasi yang menjadi hilir mudik komunikasi sahabat ketika membicarakan persoalan ekonomi dan politik masyarakat ketika itu.
Masjid di masa Rasulullah juga merupakan tempat resolusi konflik, mencari perdamaian, dan pengadilan sengketa untuk orang-orang yang saling berseteru. Maka itu, masjid seharusnya didesak untuk membicarakan akhlak kepemimpinan yang hari ini jadi soal paling penting. Masjid juga boleh jadi sumber kelahiran akal kritis dengan menyediakan kitab dan buku-buku, ditemani sumber-sumber otoritatif untuk mendiskusikan keresahan sosial tanpa sentimen negatif dan marah-marah.
Lalu ada pula Ragam Hidayah di Kampung Kang Kandar kisah tentang kesederhanaan dalam memaknai agama yang berkenaan dengan peristiwa hidup keseharian, juga relasi antar warga kampung.
Bab tiga, Islam Dan Akal Sehat. Bab ini seakan ingin mengajak pembaca untuk berpikir dengan akal sehat dan lebih peka.
“Dalam salat ada takbir yang menjadi tiang yang menggaungkan kebesaran Allat Swt. Lafaz takbir bukanlah lafaz yang sekadar diteriakkan lantang untuk puja puji. Takbir yang artinya mahabesar membuat manusia merasa kecil sekecil-kecilnya. Takbir yang terdengar di jalanan akhir-akhir ini begitu menyeramkan. Dalam mobilisasi massa aksi politik, takbir diteriakkan untuk memenangkan kekuasaan. Takbir semacam itu bukan takbir yang saya cari dalam islam. Ia tak hadir bersama keimanan pada yang Maha Besar, melainkan hadir bersama syahwat-syahwat setan.” Dirangkum dalam sub bab Jangan Bertakbir Jika Berniat Merundung Orang Lain.
Bab empat, Islam dan Contoh Baik. Ada tujuh kisah di bab ini dimana di dalamnya terdapat contoh Islam yang baik dalam keseharian kita yang kadang kita kurang peka untuk memahaminya. Tulisan yang berkesan secara personal buat saya di bab ini berjudul Bertemu Abah Maulana Habib Luthfi bin Yahya.
“….. bahwa agama harus menjadi sesuatu yang bersifat progresif dan mengerti zaman, bahwa Alquran adalah nilai yang tak lekang zaman, tetapi Muslim harus senantiasa memperbaharui pola pikir dan kiprahnya sesuai zaman.” (Hal : 153)
“Aku iri pada Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang hanya berharap ketenangan dan keselamatan dalam agama. Melakoni kepasrahan demi kepasrahan dalam hidup tanpa nafsu berkompetisi dan menjatuhkan saudaranya yang seiman ketika antre mengharap surga. Lik Jaswadi dan Lik Ndari hanya paham Allah Swt. Sebagai tempat berpulang, mencari jalan selamat, bukan tempat mencari legitimasi kebenaran untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.” (Hal : 161)”
Terakhir, bab lima, Islam dan Modernitas. Modernitas identik dengan perkembangan teknologi. Dakwah pun banyak kita jumpai di platform media sosial. Bahkan ada yang mengaku santri karena mengikuti akun dakwah, iya, santri YouTube paruh waktu, tipikal pemeluk agama masa kini yang menimba ilmu pengetahuan agama dari channel YouTube atau akun-akun instagram ustaz terkenal yang rutin mengunggah video ceramah.
Padahal kita tahu bahwa di media sosial, ribuan akun anonim aktif bekerja dan berdampak buruk pada proses pertukaran informasi. Ada ribuan opini hasil copy paste dan seragam dalam satu isu. Maka berhati-hatilah dalam bermedia sosial. Sebenarnya tiada yang salah dengan menjadi santri YouTube, atau santri sosial media lain, yang dikhawatirkan adalah fenomena ketika apa-apa di keseharian kehidupan selalu dikatakan haram, mudah melabeli seseorang dengan pelaku bid’ah. Gemar menjustifikasi nasib akhirat orang lain yang bahkan asing dan jauh dari diri mereka.
Seharusnya kita rajin melihat kekafiran diri sendiri, bukan gemar mengkafirkan orang lain. Rajin mengingatkan diri sendiri, bukan hobi “Maaf sekedar mengigatkan” ke orang lain. Setelah selesai membaca buku ini saya seperti diberi motivasi untuk terus belajar lagi tentang keberagaman yang baik dan benar.
Buku ini sayang kalau dilewatkan, walau ada sub bab yang relative panjang dan komprehensif yang sulit saya pahami karena menyertakan berbagai referensi bacaan yang lain. Tapi justru dari situlah saya tahu kalau penulis luas pendangannya. Sehingga membuat saya jadi berminat baca buku karya Mbak Kalis yang lainnya. []