Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu muncul narasi yang memojokkan para Ulama Perempuan. Narasi ini terpicu dari suatu flyer yang menampilkan hukum kebolehan aborsi, di mana para narasumber adalah para Ulama Perempuan dalam jaringan KUPI, Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Isu kebolehan aborsi dalam kasus korban pemerkosaan merupakan topik yang sensitif dan kompleks. Sesuatu yang menyangkut moral, hukum, agama, dan hak asasi manusia.
MUI singkatan dari Majelis Ulama Indonesia, melalui Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 tentang Aborsi, membolehkan aborsi karena kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan dengan syarat tindakan aborsi sebelum usia janin 40 hari. Hal ini mempertimbangkan adanya kasus pemerkosaan menyentuh tumpang-tindih hak berupa nyawa janin, keselamatan fisik atau psikis ibu, nasab, dan martabat sosial.
Hukum aborsi sesungguhnya bukanlah hal baru. Negara sudah mengaturnya melalui Undang-undang, serta jauh ratusan tahun yang lalu, para ulama fikih pernah membahasnya.
Dalam hukum di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, aborsi dilarang secara umum, kecuali dalam kondisi tertentu, yaitu: (a) Kehamilan akibat pemerkosaan, yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban. (b) Kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin mengalami kelainan berat yang tidak bisa disembuhkan.
Secara legal, negara mengizinkan aborsi dalam kasus pemerkosaan, tetapi dengan batas waktu dan prosedur ketat. Dari sisi etika dan HAM, korban pemerkosaan secara terpaksa menanggung kehamilan yang berasal dari kekerasan. Korban memiliki hak atas pemulihan dan kesehatan mental harus terjamin dari negara. Keputusan aborsi harus berdasarkan pilihan korban secara sadar, bukan tekanan keluarga, masyarakat, atau negara.
Tindakan aborsi setelah melalui konseling pra dan pasca tindakan. Dengan persetujuan korban atau keluarga bila korban tidak mampu memberikan persetujuan. Aborsi harus melalui tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dokter.
Definisi Aborsi dan Hukum Menurut Mazhab Fikih
Penjelasan aborsi dalam pandangan fikih Islam adalah fiqh al-janīn atau fiqh al-isqāth al-ḥaml atau إسقاط الحمل , yaitu menggugurkan janin sebelum waktunya lahir. Istilah lainnya adalah Ijhāḍ (إجهاض) yaitu tindakan menghentikan kehamilan dengan cara apa pun, baik sengaja atau tidak. Para fuqahā (ulama fikih) membedakan aborsi sebelum ditiupkannya ruh sebelum 120 hari dan setelah ditiupkannya ruh di usia kandungan setelah 120 hari, karena hal ini menentukan hukum syar’inya.
Adapun pendapat yang melarang setelah usia kandungan melebihi 120 hari, karena menganggap bahwa setelah 120 hari, maka tindakan aborsi sebagai pembunuhan jiwa. Hukum Islam tidak membolehkan kecuali jika nyawa ibu terancam secara nyata atau tidak ada cara lain untuk menyelamatkan korban.
Berdasarkan hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya penciptaan salah seorang dari kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga, kemudian diutus malaikat dan ditiupkan ruh.” HR. Bukhari & Muslim.
Garis besar dalil naqli sebagai pijakan dasar umum keharaman membunuh manusia termasuk janin setelah menjadi nyawa. Hadis shahih yang merinci fase nuthfah, ’alaqah, mudhghah , kemudian malaikat meniupkan ruh yang menjadi pijakan sebagai titik ensoulment atau tiupan ruh pada sekitar 120 hari. Hadis ini menjadi titik rujukan untuk membedakan hukum sebelum dan sesudah “penanaman ruh”.
Hukum Aborsi dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Agama Islam, pandangan ulama berbeda-beda. Secara umum, terdapat hukum haram dalam melakukan aborsi kecuali ada alasan syar’i yang kuat. Pendapat ulama terbagi menjadi dua: pendapat yang membolehkan, dengan syarat usia kandungan sebelum 120 hari atau empat bulan. Mazhab Hanafi membolehkan tindakan aborsi sebelum 120 hari.
Apabila tindakan aborsi setelah 120 Hari, maka hukumnya haram mutlak sebagai pembunuhan jiwa. Sebagian ulama membolehkan jika ada ‘udzur syar‘i atau alasan kuat, seperti bahaya bagi ibu atau kehamilan karena pemerkosaan. Namun apabila tindakan aborsi tanpa alasan, maka hukumnya makruh atau haram.
Madzhab Maliki mengharam aborsi sejak pembuahan, bahkan sebelum 40 hari. Imam Malik berpendapat janin sejak awal memiliki potensi hidup yang harus dijaga. Haram keras (qat‘ī), dan wajib melakukan diyat jika ada tindakan menggugurkan janin. Madzhab ini paling ketat dalam hal tindakan aborsi.
Adapun mayoritas fuqaha Syafi‘iyyah mengharamkan aborsi sejak awal, kecuali darurat medis. Sebagian kecil membolehkan sebelum 40 hari dengan sebab syar‘i. Apabila tindakan aborsi di usia kehamilan empat bulan maka haram total, dan pelaku dikenai diyat serta kafarat.
Sedangkan madzhab Hambali membolehkan tindakan aborsi sebelum 40 hari dengan alasan syar‘i, setelah itu makruh, dan setelah 120 hari haram. Haramnya pun masih harus dilihat dalam kondisi ibu hamil, karena jika nyawa ibu terancam akan menjadi pengecualian.
Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Kaidah fikih yang relevan, merujuk pada pendapat imam empat madzhab, terdapat rujukan kaidah ushul fikih di antaranya الضَّرَرُ يُزَالُ yaitu kemudaratan harus hilang. Kaidah tersebut menjadi dasar bolehnya aborsi jika kehamilan menimbulkan bahaya berat bagi ibu. Jika dua bahaya bertentangan, maka kita mengambil yang lebih ringan, إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما.
Misalnya, membiarkan janin hidup tetapi mengancam nyawa ibu, maka tindakan aborsi lebih ringan dosanya. Apalagi karena kasus pemerkosaan atau trauma berat. Kesulitan membawa kemudahan yaitu المشقة تجلب التيسير
Apabila antara nyawa janin terdapat kemudharatan besar dan kehancuran psikologis atau jiwa korban juga sama besarnya. Menghindari kerusakan sebagai prioritas utama dari mencari maslahat درء المفاسد مقدم على جلب المصالح .
Sebagai bentuk mencegah kerusakan sosial dan psikis. Misalnya pelaku kekerasan seksual adalah anggota keluarga seperti ayah kandungnya, kakeknya atau saudara kandung laki-lakinya, yang saat ini marak terjadi, maka ulama menimbang mana lebih dominan.
Asalnya sesuatu adalah mubah, الأصل في الأشياء الإباحة ketika tidak ada dalil tegas yang melarang atau menentukan, maka kaidah tersebut bisa menjadi pedoman. Kaidah-kaidah ini memberi dasar bagi berbagai ijtihad kontemporer yang mempertimbangkan aborsi pada korban pemerkosaan.
Pandangan Ulama Kontemporer
Fikih mawḍū‘ī menganalisis persoalan tersentral ini secara tematik. Bukan hanya sekadar menjawab “boleh dan tidak”, tetapi menimbang dalil, kaidah, maqāṣid, dan maslahat dalam konteks nyata. Prinsip umum larangan membunuh, misalnya ayat-ayat yang menekankan larangan membunuh jiwa yang suci dan kewajiban menjaga nyawa manusia terkait ajaran umum tentang perlindungan nyawa dan larangan pembunuhan anak.
Beberapa ulama kontemporer, seperti dari Majma‘ al-Fiqh al-Islami (OKI) dan Dewan Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’), membolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan bila usia janin 120 hari atau sebelum adanya ruh pada janin tersebut.
Alasannya boleh melakukan aborsi karena kehamilan terjadi karena pemaksaan, serta untuk melindungi korban dari penderitaan psikis dan sosial. Sejauh ini, korban pemerkosaan sering kali mendapat stigma negatif dari masyarakat, sehingga berdampak trauma berkelanjutan pada korban.
Yusuf al-Qaradawi termasuk ulama kontemporer yang menimbang maslahat sosial dan kondisi korban. Dalam beberapa penjelasannya dia membuka kemungkinan aborsi untuk korban pemerkosaan pada masa sebelum ensoulment, yaitu sebelum 120 hari.
Dia memberikan alasan demi melindungi korban dari kerusakan psikologis, sosial, dan stigma. Dengan menekankan prosedur ketat mulai dari pemeriksaan medis, justifikasi kuat, dan preferensi pada solusi yang meminimalkan mudharat.
Wahbah az-Zuhailī yaitu ulama yang menulis buku Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, membahas isu aborsi secara rinci. Dia menekankan perbedaan antara fase perkembangan janin, dan memberi ruang bagi pengecualian dalam kondisi darurat medis serta kasus-kasus luar biasa termasuk salah satunya pemerkosaan dalam batasan fase sebelum ensoulment, sambil menggarisbawahi prosedur kehati-hatian dengan syarat syar‘i. []

 
			



































 
					
					





