Mubadalah.id – Orang boleh jadi rajin beribadah setiap hari, membaca Al-Qur’an, qiyamul lail, bahkan menunaikan puasa sunah, tetapi semua itu tidak menjamin secara otomatis membuatnya mampu dekat dengan Allah. Ibadah demi ibadah yang ia lakukan seperti tak membekas dalam perilaku sehari-hati, apalagi sampai menyentuh hati.
Termasuk misalnya jika ada orang yang berpenampilan serba tertutup, layaknya orang saleh, namun ia justru menjadi biang masalah, membenci siapapun yang tidak sependapat dengannya, akhlaknya malah memusuhi orang lain yang berbeda dengannya, melakukan korupsi, mendengki, mudah tersinggung dan maunya cuma dihormati/dilayani.
Nah, permasalahan ini jamak dialami oleh kita sekalian. Hal itu bisa jadi karena ibadah dan kebaikan yang kita lakukan mengalami disorientasi niat. Niatnya keliru. Niatnya bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia. Maka juga jangan aneh, jika orang bisa berilmu setinggi langit, tetapi di saat yang sama akhlaknya sangat jauh dari baik. Gelar akademik, status sosial yang disandangnya, sama sekali tidak berbanding lurus menghasilkan kebaikan-kebaikan. Ini bisa terjadi karena kita berbicara tidak sesuai dengan apa yang diperbuat.
Semakin parah apabila ada orang yang hidupnya memang tidak berorientasi pada kehidupan akhirat. Jangankan untuk beribadah, dalam bekerjapun selalu punya orientasi bagaimana caranya mendapat keuntungan, uang yang banyak, rumah megah dan mobil mewah. Tidak peduli halal atau haram, tidak peduli kawan atau lawan, semuanya bisa dikondisikan asalkan sesuai dengan keinginan. Orang rela berbuat curang dan berbohong hanya demi agar terlihat hebat di mata banyak orang.
Kejujuran yang menjadi modal utama hidup berkah, betul-betul tak ada dalam kamus hidupnya. Bahkan saking jahatnya, ia bisa saja berkata baik, tetapi itu hanya sebagai pemanis dari aib-aib dan perbuatan jahatnya selama ini. Inilah barang kali cerminan orang yang zhahirnya kaya tetapi sangat miskin mental dan jiwanya.
Padahal kalau mau kita renungkan, walau dalam waktu sekejap, buat apa hidup kita dipandang hebat orang lain, sementara batin kita bergemuruh, resah dan selalu merasa dihantui oleh banyaknya kesalahan yang telah diperbuat. Hidup menjadi asing, karena hidupnya dibuat-dibuat dan direkayasa.
Di saat itulah pada akhirnya, orang akan menemukan titik jenuh dalam hidup. Yakni ketika Allah menguji hatinya dengan gejolak-gejolak yang menggelisahkan. Hidupnya gersang, banyaknya uang sama sekali tidak berpengaruh baik dalam hidupnya. Hidupnya gersang. Inilah saatnya ia kembali mencari Allah yang hilang.
Maka memang tidak ada jalan lain kecuali kita kembali kepada Allah. Berusaha mengenal Allah dengan lebih serius. Ikhtiar mengenal Allah harus kita maknai sebagai proses, sehingga tobat dan hijrah kita dapat dilakukan dengan tekun dan sabar. Sebab apa? Orang yang mengenal Allah belum tentu orang yang setiap harinya selalu mengucapkan kata Allah.
Sebab malah bisa jadi orang yang sering mengucapkan kata Allah, ia yang justru paling jauh dengan Allah. Maksud saya bahwa Allah dan manusia itu punya dimensi yang berbeda. Allah itu immateri, sementara manusia itu materi. Jangan samakan Allah dengan manusia, karena Allah serba tak terduga.
Sebab kalau kita mau bercermin kepada Nabi Muhammad saw., yakni setiap kali beliau merasa gundah-gelisah, yang beliau lakukan adalah bertahanuts, bertapa, berdiam diri, hening, menyepi untuk benar-benar lepas dari ingar-bingar dunia. Momen di mana Nabi saw., dan Allah begitu dekat dan intim.
Jadi hampir dapat dipastikan bahwa ibadah hakikat yang Nabi saw., lakukan adalah dalam keadaan tersembunyi, tidak untuk disiarkan kepada banyak orang. Karena hanya dengan kesungguhan kita ‘menyembunyikan’ ibadah hakikat ini dapat terhindar dari ria dan apresiasi dari sesama manusia. Cukup ia dan Allah saja yang merasakan, yang bisa jadi tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Kesungguhan dalam menyembunyikan ibadah hakikat yang dilakukan Nabi itu, bukan berarti Nabi tidak melakukan dakwah, mengajak umatnya dalam kebaikan. Sudah barang tentu Nabi memberikan pesan dan contoh yang baik karena kualitas umatnya yang awam. Dari sinilah kita bisa ambil hikmah bahwa kualitas iman kita harus meningkat dari maqam awam sampai maqam khawas dan khawasil khawas.
Dalam tataran awam, biasanya ibadah masih bersifat seremonial, dilakukan dengan ramai, karena perintah, takut oleh atasan dan lekat dengan ingar-bingar dunia. Ibadah yang levelnya berada dalam level paling rendah, hanya sekadar ikut-ikutan kebanyakan orang.
Maka dengan demikian, ketika kita serius kembali mencari Allah yang hilang, maka kita harus lepaskan segala pertimbangan duniawi, yang sarat dengan ingar-bingar manusia. Sebab pengalaman spiritual orang akan berbeda-beda, bahkan cara menempuhnya pun berbeda-beda.
Di saat itulah kita sudah tidak lagi takut dengan penilaian manusia, tak peduli lagi dengan pujian dan cacian. Ia semakin menikmati kedekatannya dengan Allah, yakni dengan mewujudkannya dengan membantu sesama yang membutuhkan, berani melawan segala kezaliman, jujur dalam apapun persoalan. Itulah mengapa Allah bisa hilang, tidak lain karena kita masih membelenggu hidup kita dengan standar hidup kebanyakan orang, itulah yang akhirnya membuat jiwa kita frustasi dan tidak tenang. Wallaahu a’lam. []