Mubadalah.id – Di samping aktif belajar, mengaji, dan berdiskusi, Sayyidah Aisyah juga rajin puasa dan ibadah yang lain. Urwah bin Zubair memberikan kesaksian tentang Sayyidah Aisyah bahwa ia rajin berpuasa.
Al-Qasim bin Muhammad bahkan mengatakan bahwa ia (Sayyidah Aisyah) puasa sepanjang tahun. Kecuali pada hari-hari yang dilarang berpuasa, seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha beserta hari tasyrik.
Dalam kesempatan yang lain, Al-Qasim bin Muhammad mengatakan:
“Pada pagi hari aku ke rumah Aisyah, aku menyampaikan salam. Suatu hari, aku melihatnya sedang berdzikir, mengucapkan tasbih, dan membaca ayat.”
“Lalu berdoa sambil menangis. Ia mengulang-ulang bacaannya. Aku menunggunya lama sekali. Aku kemudian pergi ke pasar untuk suatu keperluan. Ketika aku kembali, ia masih shalat dan berdzikir.”
Sayyidah Aisyah yang Maskulin
Sebuah pertanyaan menarik diajukan Abu Abdullah al-Husein bin Ahmad bin Sa’dan, seorang menteri Dinasti Buwaihi (373-375 H). Ia bertanya, “Apakah ada perempuan yang menjadi laki-laki?”
Abu Hayyan at-Tauhidi menjawab, Abu Sa’id as-Sairafi menceritakan kepadaku bahwa Aisyah binti Abu Bakar pernah disebut sebagai laki-laki Arab (Rajulah al-Arab).
Kata ini tentu saja tidak sama dengan “mutarajjilah” (perempuan yang berperilaku laki-laki), melainkan mempunyai kecerdasan dan keberanian seperti umumnya laki-laki). Atau lebih tepatnya memiliki karakter “maskulinitas”.
“Sayangnya,” kata Abu Sa’id, “orang asing (non-Arab) kemudian menenggelamkan predikat ini dari sirkuit sejarah. Sehingga, tidak banyak orang mengenal Aisyah disebut kaumnya demikian.
Demi Tuhan, ia (Aisyah) benar-benar begitu. Saya pernah mendengar orang mengatakan, “Kalau saja ayahnya punya anak laki-laki sepertinya (Aisyah) niscaya ia tidak akan bisa berbuat apa-apa di hadapannya (Aisyah).
Sang menteri bertanya lagi, “Apakah Anda punya informasi tentang pandangan-pandangannya?”
“Sangat banyak. Aisyah bicara banyak tentang hukum-hukum agama. Pendapat-pendapatnya sangat banyak orang perhatikan dan transmisikan,” jawab Abu Hayyan.
Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah menyampaikan tentang al-akhlak al-karimah (budi pekerti luhur).
Kemudian, Aisyah berkata, “Ada 10 akhlak mulia: jujur dalam ucapan, terbuka terhadap orang lain, menjaga amanat (kepercayaan), silaturahmi, menyampaikan kebaikan.”
“Kemudian, memerhatikan tetangga, menyayangi teman, membayar layak para pekerja, menjamu tamu, dan paling penting ialah memiliki rasa malu (untuk berbuat jahat).”[]