“Zahra, kaki ibu sakit, boleh Ibu gandeng tangannya, kita jalan bareng ya biar nggak jatuh?”
Mubadalah.id – Kalimat terakhir Ibu Mahmudah masih terus terngiang-ngiang hingga kini, saat kami bertemu dalam acara Tunas Gusdurian sekitar akhir Agustus 2025 di asrama haji Jakarta. Saat itu kami bertemu di lobi gedung tempat menginap tim perumus, secara kebetulan malam itu hujan mengguyur Jakarta. Genangan air nampak di mana-mana, sehingga saat berjalan kami berusaha menghindar.
Saat turun dari teras gedung itu, secara refleks Ibu Mahmudah menggandeng tanganku. Jalannnya saat itu memang sudah agak pelan. Sambil berjalan menuju aula utama, Ibu Mahmudah banyak bercerita, terutama tentang rencananya ingin mencalonkan diri sebagai rektor di kampusnya mengabdi selama ini.
“Zahra doakan Ibu ya, mau ikut seleksi calon rektor. Kalau nanti KUPI III jadi di Lampung, Ibu akan berusaha memfasilitasi kegiatannya.”
Aku mengamininya, dan berharap juga agar proses beliau dilancarkan dan dimudahkan. Namun sayang, proses itu belum sempat beliau tempuh, Gusti Allah lebih dulu memanggilnya. Setelah satu minggu menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Lampung, beliau menghembuskan nafas terakhir pada Senin 6 Oktober 2025. Meski beliau telah tiada, rasa cinta, kepedulian, dedikasi dan perjuangannya akan terus hidup di hati kami.
Sejak saat itu, kabar kepergian beliau terus berdenting melalui media sosial. Ya, Prof Dr Hj Mahmudah, S.Ag, Ma.Ag, seorang ulama perempuan dari negeri Sai Bumi Ruwa Jurai itu telah pergi.
Sebuah kehilangan yang sangat besar, bahkan hingga kini aku masih menangis jika mengingatinya. Seperti ada ruang kosong yang kita tak tahu apa. Ada rasa sesak yang tak mampu aku bahasakan. Betapa rasa sayang dan cinta Ibu Mahmudah pada KUPI dan Mubadalah tak pernah terbantahkan. Ia selalu hadir di manapun kegiatan yang tergelar KUPI atau Mubadalah yang secara umum, meskipun harus membiayai diri sendiri.
Meninggalkan Jejak Karya
Mengutip dari laman Kupipedia.id yang ditulis Abdul Rosyidi, Ibu Mahmudah telah meninggalkan jejak karya nyata, warisan berharga bagi generasi berikutnya. Pada tahun 2015 Mahmudah terpilih sebagai peserta program The Partnership in Islamic Education Scholarship (PIES).
Program ini berupa studi jangka pendek di Austalian National University (ANU) Canberra-Australia selama dua semester untuk proses penyelesaian disertasi. Disertasi yang beliau tulis di bawah bimbingan Prof. Virginia Hooker ini terseleksi sebagai disertasi terbaik periode 2016/2017 di Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Melalui disertasi ini juga membawa Siti Mahmudah menjadi salah satu Peneliti Muda Indonesia terbaik 2017. Lalu mengantarkan tulisannya untuk dibukukan bersama karya lainnya dalam buku Muslim Subjectivity: Spectrum Islam Indonesia.
Disertasi tersebut berhasil dicetak menjadi buku dengan judul “Historisitas Syari’ah Islam: Kritik Relasi-Kuasa Khalil Abdul Karim” pada bulan Juni 2016. Buku ini launching bersamaan dengan acara orientasi mahasiswa baru S2 dan S3 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 16 September 2016.
Buku Historisitas Syariah tersebut juga telah terpilih untuk dibedah pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) pada 1-4 November 2016 di UIN Raden Intan Lampung. Sebagai pembahas bedah buku adalah Prof. Noorhaidi Hasan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Prof. Dr. Amany Lubis, MA dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Meneguhkan Karakter Islam Indonesia
Ilmu academic writing skills yang beliau peroleh dari ANU yang diajarkan oleh Vivian Selvy membawanya mempunyai skill mumpuni untuk menulis jurnal yang berstandar International. Hasilnya, tulisan jurnalnya meraih peringkat tiga terbaik dalam ajang lomba penulisan karya ilmiah tingkat internasional. The 2nd Sunan Kalijaga International Writing Contest di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan peraih peringkat pertama adalah penulis dari McGill University Montreal Kanada.
Kemudian peringkat kedua oleh dosen dari perguruan tinggi penyelenggara acara. Mahmudah mengangkat tulisan berjudul “Islam and Local Traditions; The Study of the Thinking of Abdurrahman Wahid (1940-2009) and Khalil Abdul Karim (1930-2002); an Indonesian and Egyptian Perspective. Tulisan ini sebagai hasil penelitian yang beliau lakoni secara serius selama dua bulan antara Februari-Maret 2018, di Australian National University (ANU) Australia.
Hasil riset Ibu Mahmudah yang bersifat studi kasus dan komparatif ini meneguhkan watak Islam Indonesia yang damai dan terus berdialektika secara produktif dengan budaya lokal.
Secara khusus riset ini melihat nilai substantif Islam damai tersebut dari perbandingan antara pengalaman dan pemikiran tokoh Indonesia. Dalam hal ini terwakili oleh Gus Dur atau Abdurrahman Wahid dengan teori Pribumisasi Islam. Sementara Khalil Abdul Karim dari Mesir dengan teori Historisitas Syari’at. Keduanya senada dalam mengatakan bahwa syari’at adalah hasil dialektika antara Islam dengan lingkungan budaya dan sosial sekitarnya.
Dengan karakter adaptasi tersebut maka bentuk-bentuk aturan syari’at bisa sangat dinamis, fleksibel, dan mengalami penyesuaian. Terlebih saat bertemu watak dan karakter sosio kultural wilayah atau negara tertentu. Tentunya dengan tidak menghilangkan substansi ajarannya seperti kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, perdamaian, keamanan dan sebagainya.
Tentang KUPI dan Mubadalah
Pertama kali aku mengenal Ibu Mahmudah melalui kegiatan Women Writers Conference (WWC) Mubadalah pada November 2019. Dalam informasi yang kami sampaikan ke publik, peserta WWC maksimal berusia 40 tahun, namun bukan Ibu Mahmudah namanya jika tak gigih untuk meraih sesuatu.
Meski usianya sudah melewati batas, beliau minta diperbolehkan ikut dan bersedia membiayai semua kebutuhannya sendiri selama mengikuti kegiatan selama empat hari di Cirebon.
Ternyata di balik kegigihannya itu, aku baru tahu ternyata pada 1 Agustus 2019, beliau dilantik Rektor sebagai Kepala Program Studi Hukum Keluarga Program Doktor (S3) di Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung.
Bukan hal kebetulan jika ilmu, pengetahuan, dan jaringan yang beliau peroleh dari KUPI akan bermanfaat untuk melakukan reformasi kajian hukum keluarga di UIN Raden Intan. Bahkan hingga kini beliau menggunakan dan mengajarkan perspektif mubadalah yang ia peroleh dari KUPI kepada mahasiswa S2 dan S3 di UIN Raden Intan, Lampung.
Melansir dari Kupipedia.id, banyak tantangan yang Ibu Mahmudah hadapi, baik dari mahasiswanya sendiri maupun dari rekan kerjanya sesama dosen. Akan tetapi beliau yakin, perubahan itu harus segera diraih dengan terus menawarkan pemikiran-pemikiran baru dalam melihat ajaran-ajaran Islam. Selain membawa mubadalah ke dalam kurikulum kampus, ia juga berencana untuk melakukan riset tentang KUPI.
Mubadalah Menjadi Jawaban
Secara pribadi, mubadalah sendiri seperti menjadi jawaban bagi perjalanan kehidupan Mahmudah, sebagaimana yang Abdul Rosyidi tuliskan dalam lama Kupipedia.id. Sejak menikah Ibu Mahmudah selalu berusaha menjadi seorang istri yang patuh terhadap suami, sepatuh-patuhnya, selugu-lugunya, demi menjaga tradisi, nama baik keluarga besar dan masyarakat.
Dulu, beliau meyakini, sejak menjadi seorang istri secara otomatis tidak lagi melakukan hal-hal yang mengharuskan keluar rumah. Jadi, Ibu Mahmudah dulu lebih banyak diam di rumah, dan hanya keluar rumah seperlunya saja untuk pergi kuliah atau mengajar. Tanpa banyak bicara, apalagi di forum-forum diskusi atau seminar. Ibu Mahmudah takut salah bicara dan dimarahi suami sesampainya di rumah.
Tradisi di tempat tinggal Ibu Mahmudah, perempuan yang sudah menikah hanya boleh tinggal di dalam rumahnya untuk seumur hidupnya. Kenyataan ini yang beliau temui dan begitu kuat mempengaruhi suami dan dirinya. Ini juga yang menjadi alasan bahwa ia harus patuh kepada suami, tidak boleh mengeluh, mesti menerima dan patuh pada suami. Walaupun tidak terjadi adanya kesalingan dan kesetaraan, antara ia dan suaminya.
Padahal, Ibu Mahmudah terdidik dalam keluarga yang moderat. Ayah ia, seorang kiai yang berani mendobrak zaman dengan menyekolahkan anak perempuannya tidak berbeda dengan anak laki-lakinya. Bahkan anak perempuannya menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi daripada saudaranya yang lain.
Mubadalah dan KUPI, seperti yang Abdul Rosyidi tuliskan, telah memberikan jawaban terhadap pengalaman kehidupan Ibu Mahmudah. Terutama saat berjuang, membanting tulang, memeras keringat dan otak untuk menyelesaikan pekerjaan dan studi dengan berbagai macam stigma buruk terhadap perempuan yang masih kuat melekat di benak masyarakat.
Kesalingan dalam rumah tangga memang sudah ia praktikkan jauh-jauh hari sebelum ikut KUPI, tapi mubadalah memberikan pondasi yang lebih kokoh untuk praktik tersebut. Juga tentu untuk menjadi pijakan bagi para mahasiswanya memahami hukum keluarga di dalam Islam.
Kini ulama perempuan dari Negeri Sai Bumi Ruwa Jurai itu telah pergi, tapi prinsip hidup, semangat, dan jejak karyanya tak pernah mati. Ia akan terus mengilhami dan menjadi inspirasi yang tak pernah henti, meski tahun-tahun akan segera berganti. []