Mubadalah.id – Fikih pada hakikatnya adalah pikiran-pikiran cerdas dengan basis teks-teks keagamaan Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits (al-Sunnah). Pikiran-pikiran ini selalu berada dalam ruang dan waktu. Karena itu terdapat faktor relativitas dan bersifat dinamis.
Dengan begitu tidaklah mengherankan jika dalam fikih seringkali kita menemukan sejumlah pikiran yang kontroversial. Akan tetapi relativitas dan dinamika fikih tersebut harus senantiasa mengacu pada idealitas Islam yang menjadi sumbernya.
Dalam arti lain ketika pikiran-pikiran itu dikemukakan oleh para pemikirnya, maka mereka dalam ruang dan waktunya yang berbeda, tetap menjalankan fungsinya untuk semaksimal mungkin melahirkan dan merealisasikan idealitas Islam yang absolut itu. Ini berarti bahwa pemikiran fikih memiliki aspek idealitas dan realitas empiris.
Secara ideal, Islam, juga agama-agama lain, selalu hadir dalam gagasan-gagasan besar kemanusiaan. Agama memang dihadirkan Tuhan bagi manusia untuk sebuah pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, kebiadaban dan perbudakan manusia.
Setiap penindasan, tirani, kebiadaban dan perbudakan adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Manusia menurut Islam dilahirkan dalam keadaan bebas atau suci.
Umar bin Khattab mengungkapkan tentang kemerdekaan manusia ini dalam ucapannya yang sangat terkenal kepada gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash: “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal para ibu mereka melahirkannya dalam cadaan merdeka”.
Bersifat Universal
Pada sisi lain Islam selamanya bersifat universal. Islam melalui pernyataan otoritasnya yang paling tinggi, yaitu al-Qur’an berbicara dengan jelas dan tegas:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: Wahai manusia, Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Yang mulia disi Allah adalah yang paling tagwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat ayat 13)
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ
Artinya: Wahai manusia, bertagwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu diri. (QS. an-Nisa ayat 1)
Universalisme Islam melampaui semua perbedaan manusia. Ia membebaskan berbagai nilai yang kita anggap sumber normatif nilai: suku, ras, agama, tanah air, etnis, jenis kelamin dan kebudayaan. Universalisme Islam dengan begitu memberikan makna kesederajatan manusia di hadapan Tuhan. Ini juga seperti yang Nabi Muhammad Saw sampaikan:
“Tidak ada kelebihan Arab atas non Arab, selain karena kepatuhannya kepada Tuhan”
Kesedarajatan manusia dengan demikian bersifat asasi. Dan karena itu setiap pembedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain merupakan bentuk ancaman terhadap nilai-nilai asasi manusia. []