Mubadalah.id – Ketika para ibu melakukan fungsi reproduksinya menyusui bayinya, kepada sang ayah wajib memberi nafkah dan kecukupan sandang kepada sang ibu secara ma’ruf (patut).
Perintah ini lagi-lagi menunjukkan sensitivitas al-Qur’an karena telah memotret dengan cermat kecenderungan para suami ketika istri melakukan fungsi reproduksinya. Konsentrasi waktu dan perhatian ibu kepada bayi seringkali “menyisihkan” keberadaan suami, bahkan perhatian ibu pada penampilannya sendiri.
Keadaan ini berpotensi membuat suami tidak lagi memberi perhatian maksimal kepada istri. Terkadang malah ada suami yang berselingkuh dengan alasan istrinya nifas atau tidak memperhatikannya.
Dengan perintah memberikan nafkah dan sandang secara patut kepada istri saat menjalani fungsi reproduksinya itu, al-Qur’an mengerem kecenderungan negatif para suami yang hanya memikirkan kepentingan hidupnya sendiri pada saat istri dan bayinya sedang dalam keadaan yang sangat membutuhkannya.
Larangan Pembebanan
Norma ideal kembali ditekankan Alquran setelah ayah dan ibu diminta memberikan perhatian maksimal kepada bayinya sesuai porsi masing-masing. Norma yang berbunyi “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya” secara tajam membidik tradisi yang membebankan pengasuhan anak hanya pada ibu.
Kecenderungan masyarakat patriarki di mana ayah tahunya beres dan urusan anak dibebankan semua kepada ibu secara tegas dilarang al-Qur’an.
Lagi-lagi, ini menunjukkan sensitivitas Alquran terhadap sesuatu yang dianggap biasa oleh sebagian besar manusia. Bagi al-Qur’an, tradisi itu tidak boleh terjadi karena jelas memperlihatkan ketidakadilan.
Setelah melarang ketidakadilan yang biasa para ibu alami, al-Qur’an terus konsisten melarang ketidakadilan itu, baik terjadi pada ayah, dan juga kaum kerabat. Pengasuhan anak tidak boleh berjalan secara tidak adil.
Ayah dan ibu mesti sama-sama memberi perhatian kepada anaknya. Tidak boleh ada eksploitasi kepada salah satu pihak. Tak hanya pada ibu atau ayah, eksploitasi juga tidak boleh terjadi pada kerabat yang lain. “Dan (tidak boleh) seorang ayah (menderita) karena anaknya. Demikian pula para waris.” []