Mubadalah.id – Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, Indonesia memiliki sekitar 23 juta penyandang disabilitas atau sekitar 8,7% dari total penduduk. Angka ini mengindikasikan bahwa hampir satu dari sebelas warga negara menghadapi keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang memengaruhi aktivitas sehari-hari mereka.
Meski jumlahnya besar, penyandang disabilitas masih mengalami berbagai kendala serius dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, serta partisipasi sosial. Di berbagai daerah, anak-anak berkebutuhan khusus harus menempuh perjalanan jauh demi memperoleh pendidikan layak.
Sebuah gambaran nyata sulitnya akses yang seharusnya menjadi hak dasar setiap anak. Data BPS (2024) juga menunjukkan bahwa sekitar 17,85% penyandang disabilitas berusia di atas lima tahun belum pernah mengenyam pendidikan formal, jauh lebih tinggi daripada kelompok tanpa disabilitas yang hanya 5,04%. Ketimpangan ini menjadi tanda bahwa sistem inklusi sosial Indonesia perlu segera kita perbaiki dan diperkuat.
Ketidakmerataan akses pendidikan tidak hanya membatasi kesempatan belajar, tapi juga berdampak luas pada aspek kehidupan lainnya. Pendidikan yang tidak inklusif menghambat pemberdayaan dan kemandirian penyandang disabilitas sehingga sulit bersaing di pasar kerja. Hal ini kemudian meningkatkan risiko kemiskinan dan ketergantungan yang lebih besar terhadap keluarga dan masyarakat.
Tantangan di Sektor Tenaga Kerja
Di sektor ketenagakerjaan, tantangan juga sangat nyata. Data BPS (2023) mencatat hanya sekitar 7 juta penyandang disabilitas yang terserap di pasar tenaga kerja, dengan tingkat pengangguran dua kali lipat lebih tinggi daripada kelompok tanpa disabilitas. Hambatan utama berupa diskriminasi, kurangnya aksesibilitas tempat kerja, serta minimnya pelatihan keterampilan yang sesuai menjadi penyebab rendahnya partisipasi ini.
Studi Poerwanti, Makmun, dan Dewantara (2024) menambahkan bahwa minimnya akses digital menjadi penghalang besar dalam meningkatkan peluang kerja penyandang disabilitas di era teknologi yang terus berkembang.
Di sisi lain, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand sudah mulai menerapkan kebijakan inklusi yang lebih baik. Yakni membuka peluang kerja dan pelatihan bagi penyandang disabilitas dengan hasil positif.
Selain pendidikan dan pekerjaan, layanan kesehatan juga memegang peran penting dalam menunjang inklusi sosial. Banyak penyandang disabilitas membutuhkan layanan khusus seperti terapi wicara, terapi okupasi, dan rehabilitasi yang belum sepenuhnya terjangkau oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kekurangan layanan tersebut menghambat peningkatan kualitas hidup dan kemampuan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Ketersediaan layanan kesehatan inklusif yang terjangkau menjadi kebutuhan mendesak untuk memberdayakan penyandang disabilitas.
Infrastruktur Belum Ramah Disabilitas
Selain itu, infrastruktur publik yang belum ramah disabilitas masih menjadi kendala serius. Penelitian Utami (2024) dan Arifin (2024) menemukan bahwa fasilitas umum seperti perpustakaan, transportasi, hingga gedung pemerintahan masih belum memenuhi standar aksesibilitas universal.
Hambatan fisik seperti kurangnya ramp, jalur pejalan kaki yang tidak aman, dan minimnya fasilitas informasi yang ramah disabilitas membatasi mobilitas dan partisipasi sosial mereka. Ketidaksetaraan dalam akses ruang publik ini merupakan penghalang yang perlu segera diatasi.
Menghadapi tantangan tersebut memerlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan individu. Pendidikan inklusif harus diwujudkan tidak hanya sebagai kebijakan formal, tapi juga dengan penyediaan fasilitas dan tenaga pendidik yang kompeten memahami kebutuhan penyandang disabilitas.
Dunia kerja perlu kita dorong membuka peluang lebih luas dan menyediakan pelatihan keterampilan yang sesuai. Infrastruktur publik harus dirancang berlandaskan prinsip aksesibilitas universal agar ruang publik dapat terakses semua warga tanpa terkecuali.
Kesadaran dan penghilangan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas juga menjadi kunci utama. Diskriminasi dan stereotip selama ini menjadi penghalang terbesar inklusi sosial. Edukasi dan kampanye pemberdayaan masyarakat perlu diperkuat untuk membangun lingkungan sosial yang inklusif dan suportif.
Inklusi Sosial dan Strategi Pembangunan Nasional
Para pembuat kebijakan perlu serius mengimplementasikan undang-undang serta memperkuat program pemberdayaan penyandang disabilitas secara berkelanjutan. Sektor swasta diharapkan turut mengambil peran aktif menyediakan peluang kerja dan pelatihan inklusif.
Sementara masyarakat umum juga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan dan memperlakukan penyandang disabilitas secara setara dan bermartabat.
Inklusi sosial penyandang disabilitas bukan sekadar kewajiban moral, melainkan juga strategi pembangunan nasional yang dapat memperkuat fondasi bangsa. Dengan memberdayakan seluruh warga negara tanpa kecuali, Indonesia dapat mengurangi kesenjangan sosial sekaligus membuka peluang pertumbuhan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Setiap langkah kecil hari ini merupakan investasi besar untuk masa depan Indonesia yang lebih inklusif dan manusiawi.
Mereka yang terpinggirkan tidak boleh terus menunggu kesempatan yang tak kunjung datang. Upaya bersama dan kolaborasi lintas sektor harus terwujudkan agar Indonesia menjadi negara yang memberikan ruang dan kesempatan bagi semua warga, tanpa terkecuali. Karena inklusi adalah hak asasi setiap manusia sekaligus tanggung jawab kolektif seluruh bangsa. []