• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Insecure dan Kesejahteraan Psikologis Perempuan

Kita dapat merefleksikan pengalaman dan peristiwa yang terjadi selama hidup kita untuk mendapatkan kesejahteraan psikologi. Lalu perlahan mengenal, menemukan diri sendiri dan terlepas dari insecure.

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
15/02/2021
in Personal
0
Insecure

Insecure

355
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – SMP adalah salah satu masa yang cukup suram yang jauh dari kesejahteraan psikologis. Masa di mana rasa insecure saya membesar. Entah bagaimana awalnya, saya akhirnya sering bertengkar dengan dua teman laki-laki. Ada yang mem-bully saya dengan mengatakan saya “wajah timun”. Yang lebih menyakitkan, ada yang menyebut saya “tapir”.

Saya merasa menjadi perempuan yang tidak menarik dan cenderung minder dalam berteman. Secara tidak sadar saya menginternalisasi pengalaman bullying sebagai kebenaran, sehingga saya seringkali insecure, dan memandang rendah diri saya sendiri. Hal ini juga terbawa saat saya menjadi hubungan dengan laki-laki. Saya menjauh dan merasa tidak layak ketika ada laki-laki yang mendekati saya.

Ternyata banyak perempuan yang mengalami hal yang sama dengan saya. Ada puluhan netizen yang berbagi cerita di kolom komentar salah seorang penulis yang membahas topik “insecure”. Jangankan saya yang termasuk orang biasa, orang-orang terkenal pun juga pernah dihantui rasa insecure.

Sebagian besar bercerita insecurity mereka sebagai akibat dari bullying. Ada yang sampai ingin bunuh diri karena fisiknya, padahal dia termasuk pintar dan selalu ranking di SMP. Ada yang juga pernah di-bully saat SD sampai dia tidak berani untuk selfie karena merasa jelek. Ada yang insecure karena wajahnya berjerawat, gelap dan gendut. Dia terisolasi karena kondisinya tersebut.

Ada juga yang bercerita yang bercerita bahwa dia sering merasa insecure, dan minder saat berkenalan dengan orang baru. Dia juga merupakan korban bullying sejak SD sehingga membuatnya tidak percaya diri dalam melakukan sesuatu. Dia merasa tidak berharga dan tidak percaya saat orang lain mengapresiasinya. Dia sudah terbiasa menjadi rendah diri. Dia bercerita bahwa dia ingin bergaul dengan siapapun tanpa khawatir dan malu.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Selain itu, ada juga yang bercerita bahwa rasa insecure membuatnya sering bertengkar dengan suaminya karena dia merasa tidak pantas secara fisik. Dia takut ditinggal dan takut tidak dicintai. Bahkan ada juga yang bercerita bahwa dia sejak kecil sudah di-bully oleh Ibunya dan keluarganya sendiri.

Ternyata banyak orang yang mengalami krisis sejak kecil akibat bullying, dan juga mengakibatkan trauma. Masing-masing orang memiliki luka dan trauma yang membuat mereka merasa tidak berharga dan tidak bahagia. Mungkin kita merasa sendirian menghadapi ini, tapi sebenarnya kita sedang membawa beban masing-masing.

Mereka semua mengatakan bahwa prosesnya panjang untuk menerima diri sendiri, menjadi lebih percaya dan mencintai diri sendiri. Setelah semakin dewasa, saya juga perlahan berdamai dengan masa lalu saya dan diri saya sendiri. Saya memeluk rasa insecure itu dan menginterpretasikan ulang makna diri sendiri.

Kebanyakan rasa insecure dan bullying ini karena bentuk fisik yang dianggap tidak menarik. Kita menjadi rendah diri, citra diri negatif dan tidak menghargai diri sendiri. Kita menjadi tidak memiliki kesejahteraan psikologis dan tidak bahagia karena kondisi fisik yang tidak ideal menurut standar masyarakat. Padahal, nilai diri kita tidak hanya ditentukan oleh rupa, tubuh dan penampilan saja.

Saya jadi bertanya-tanya, kapan manusia biasanya mencapai kesejahteraan psikologis? Kapan manusia merasa bahagia, puas dan menerima dirinya secara utuh? Kapan manusia dapat melepaskan diri dari jebakan rasa insecure?

Menurut konsep kesejahteraan psikologis Carol D. Ryff, manusia dapat dikatakan sejahtera jika dapat menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, menguasai lingkungan dan terus bertumbuh secara personal. Martin Seligman menyebut konsep ini sebagai teori kebahagiaan.

Tidak ada satu pun komponen kesejahteraan psikologis yang berhubungan dengan fisik yang membuat kita insecure. Jika kita menyadari keenam komponen kesejahteraan psikologis ini sedini mungkin, sepertinya kita akan lebih mudah untuk lepas dari jeratan insecurity.

Apakah sekarang kita sudah mendapatkan kesejahteraan psikologis? Apakah kita sudah bahagia? Apakah kita bisa menerima dan mencintai diri sendiri secara utuh dan penuh?

Jika sekarang kita masih terjerat dalam perasaan insecure, kita dapat menolong diri kita sendiri. Ryff menawarkan kita untuk menginterpretasikan ulang kondisi dan pengalaman hidup kita untuk memperoleh kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis. Kita dapat merefleksikan pengalaman dan peristiwa yang terjadi selama hidup kita. Lalu perlahan mengenal dan menemukan diri sendiri.

Setelah saya refleksikan semua pengalaman negatif saya selama ini, ternyata secara tidak sadar saya menginterpretasikan ulang pengalaman negatif saya satu persatu. Itu adalah cara saya untuk mengenal dan menerima diri saya dengan segala kelemahan dan kelebihannya.

Proses untuk menemukan diri sendiri tidak selalu menyenangkan, sebaliknya, justru banyak dipenuhi pengalaman yang tidak menyenangkan. Manusia akan terus belajar untuk menjadi bahagia dan sejahtera secara psikologis sesuai nilai dan makna yang ditentukan masing-masing individu. []

Tags: citra diriInsecureKesehatan MentalperempuanSelf Love
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Beda Keyakinan

    Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID