• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Insecure? Please Say “No”!  Fokuslah Pada Diri Sendiri

Kita butuh healing untuk meredakan segala bentuk penyakit dalam diri, termasuk rasa insecure yang terus menghantui, dan menghambat proses perkembangan kita sebagai manusia yang berusaha berdaya

Muallifah Muallifah
01/10/2021
in Personal
0
Memilih

Memilih

250
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada suatu waktu, kesadaran yang muncul dalam diri ketika mencoba memasukkan segala informasi yang ada pada diri kita, adalah sebuah kesimpulan bahwa ada banyak hal di luar kendali, justru kita sendirilah yang merendahkan.

Dalam sebuah kasus begini, media sosial tidak hanya menjadi ruang untuk berekspresi, bertukar informasi dan membagikan segala sesuatu yang ada pada diri seseorang. Lebih dari itu, ruang ekspresi ini menjadi komoditas baru antar individu, suatu kelompok untuk menunjukkan berbagai hal baik yang ada pada dirinya.

Dalam hal makanan, fungsi makanan untuk memenuhi kebutuhan manusia, kini bergeser menjadi komoditas baru dalam dunia kapitalisme. Maka sesuatu yang viral menjadi hal yang didambakan, sebab akan mendatangkan banyak keberuntungan, termasuk menciptakan sumber perekonomian baru bagi sebagian orang. Dalam konteks makanan seperti yang sudah dijelaskan diatas, semakin banyak orang yang mengafirmasi bahwa makanan tersebut high class, semakin berlombalah kita untuk mendapatkan makanan tersebut.

Tempat makanan kini menjadi strata bagi kelas menengah atas dan kelas menengah ke bawah. Tidak heran, ketika pergi ke tempat makan, hanya makanan kelas ataslah yang memenuhi postingan orang-orang. Ini kemudian menjadi hipotesa kita bahwa manusia dalam ruang digital jarang sekali menampilkan hal buruk, kesakitan dan berbagai kegagalan dalam hidupnya.

Jika mendengarkan kata pak Fahrudin Faiz dalam ngaji filsafat pada suatu temanya, kurang lebih kalimatnya seperti ini, ”Mungkin tubuh kita suka nasi kucing, suka makan sate, tapi ketika makan pizza, lidah kita tidak cocok, tapi merasa keren dan dapat pengakuan dari orang lain, apalagi ketika diposting, itulah tandanya kita kehilangan diri kita sendiri “.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Sejalan dengan fenomena tersebut, Abraham Maslow menjelaskan bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah penghargaan dan aktualisasi diri. Maka menjadi sebuah keniscayaan ketika media sosial menjadi ruang aktualisasi diri seseorang untuk mendapatkan penghargaan. Baik itu kepuasaan ataupun potensi yang dimiliki oleh dirinya sendiri. Sayangnya, media sosial ternyata tidak hanya menjadi ruang apresiasi kita untuk berkembang.

Pada term lain, justru menjadi toxic. Hal ini terjadi ketika kita merasa bahwa melihat orang lain lebih bahagia, lebih sukses, menemukan tujuan hidupnya, dan semerbak kenikmatan lain yang sepertinya hal itu tidak terjadi pada kehidupan.

Masalahnya adalah kita terlalu sibuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. kita terlalu sibuk untuk mengurus sesuatu di luar kemampuan diri. Padahal yang harus kita sadari bahwa kesuksesan orang lain dicapai dengan kerja keras, dibayar dengan waktu dan komitmen yang terus dilakukan.

Fokus pada kemampuan, fokus asah diri

Aktivitas membandingkan diri dengan orang lain, sangat tidak perlu untuk kita lakukan. Barangkali jika penyakit ini mematikan mental kita, perlu kiranya sejenak untuk lari dari media sosial. Sebab kita butuh healing untuk meredakan segala bentuk penyakit dalam diri, termasuk rasa insecure yang terus menghantui, dan menghambat proses perkembangan kita sebagai manusia yang berusaha berdaya.

Sikap tidak percaya diri yang timbul akibat faktor diluar dari kita sendiri, khususnya di media sosial, perlu untuk motivasi dari luar dan dalam diri kita untuk membangun kesadaran, bahwa sikap semacam ini justru membuat kita tidak berdaya. Namun, sebenarnya hal ini wajar. Maka tidak perlu untuk menyembunyikan emosi-emosi negatif dalam diri. Kita perlu mengeluarkan semua emosi negatif tersebut, untuk memasukkan emosi positif pada diri kita untuk tetap melakukan hal-hal baik.

Selain itu, apa yang bisa kita lakukan? fokus pada diri sendiri, fokus pada kemampuan, fokus pada sesuatu yang akan kita tekuni sesuai dengan bakat dan kemampuan yang ada pada diri kita. Jika kita sudah fokus, sibuk mengerjakan sesuatu untuk pengembangan diri, memberdayakan diri sendiri, melakukan sesuatu sesuai dengan minat dan bakat. Kita tidak mudah terdistrak oleh sesuatu di luar diri kita sendiri. Tidak hanya itu, fokus pada diri kita sendiri otomatis kita tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal di luar diri kita sendiri. []

 

Tags: BerdayakeadilanKemandirianKesetaraanMental HealthperempuanSelf HealingToxic Relationship
Muallifah

Muallifah

Penulis asal Sampang, sedang menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID