Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Sayed Hosen Nasr, salah seorang cendikiawan muslim kontemporer terkemuka tentang toleransi dalam Islam, maka ia mengatakan jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, dan universalitas kebenaran.
Kemudian, inti Islam merupakan bentuk kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggung jawab manusia dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup.
Jantung atau inti Islam juga mengisyaratkan kepada kita untuk bangun dari mimpi yang melalaikan, ingat tentang siapa diri kita dan mengapa kita ada di sini dan untuk mengenal serta menghargai agama-agama yang lain.
Maka, sudah saatnya kita semua, terutama para tokoh agama, duduk bersama dalam suasana hati yang tenang dan pikiran yang jernih.
Bahkan tanpa prasangka untuk dapat merumuskan kembali agenda bersama dalam kerangka menciptakan relasi manusia yang harmonis, damai, dan menyejahterakan.
Pertemuan dan dialog antar para pemimpin agama diharapkan akan dapat melahirkan rekomendasi-rekomendasi mendasar dan strategis bagi hubungan baik antar kelompok-kelompok keagamaan dalam ruang internalnya masing-masing.
Maupun antar para pemeluk agama-agama (relasi eksternal) untuk kehidupan kita hari ini maupun hari esok yang panjang. Para tokoh agama adalah panutan masyarakat. Kepada merekalah rakyat dan masa depan bangsa ini ditambatkan dan digantungkan.
Sebuah pepatah mengatakan, An-Naas ‘ala Dini Mulukihim. Cara hidup dan berkehidupan rakyat adalah cara hidup para pemimpinnya.
Imam Al-Ghazali, mengutip para bijak bestari mengatakan, kelakuan rakyat adalah produk dari kelakuan para pemimpin mereka. Karena mereka (rakyat) belajar dari mereka dan mematuhi mereka.
Ahmad Amin, penulis Mesir terkemuka mengatakan, keteladanan memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia. Setiap perbaikan yang terjadi pada individu maupun masyarakat lebih banyak berdasarkan oleh model teladan.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Islam dan Toleransi.