Mubadalah.id – Gender kini menjadi isu yang diperbincangan secara luas dan sengit di berbagai belahan dunia, baik di Barat maupun di Timur. Salah satu pertanyaan mendasar yang kerap muncul adalah apakah agama, khususnya Islam, mengakui dan mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai hubungan yang setara, khususnya dalam hak-hak sosial, budaya, dan politik mereka?
Pertanyaan ini dapat diperluas menjadi: apakah perempuan dalam pandangan agama memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlakuan adil di depan hukum, baik dalam urusan privat maupun publik?
Dalam ranah domestik, misalnya, apakah perempuan berhak memilih pasangan hidupnya, menentukan jalan pernikahannya sendiri. Bahkan menjadi kepala keluarga dan penentu masa depan rumah tangga?
Sementara dalam ranah publik, apakah perempuan punya hak setara mengakses pendidikan, berkiprah di ruang sosial, menjadi pengambil kebijakan, hingga menduduki kursi kepala negara?
Jika kita membaca pikiran para ulama dan cendekiawan Islam dalam karya-karya klasik maupun modern, setidaknya muncul dua arus besar dalam merespons persoalan gender ini.
Posisi Subordinat
Arus pertama memandang perempuan berada dalam posisi subordinat terhadap laki-laki. Dalam pandangan ini, perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, lebih rendah daripada laki-laki.
Status subordinat ini diyakini sebagai kodrat, fitrah, bahkan norma ketuhanan yang tidak boleh diganggu gugat. Setiap upaya mengubahnya dianggap menyalahi kodrat, bahkan melawan hukum Tuhan.
Bagi kelompok ini, ketentuan Allah dalam Al-Qur’an dan hadis berlaku abadi, melintasi ruang dan waktu. Atas dasar itulah, mereka menetapkan bahwa hak dan kewajiban perempuan memang tidak sama dengan laki-laki, baik dalam ibadah, hukum keluarga. Maupun urusan publik-politik. Singkatnya, dalam banyak kasus, hak perempuan hanya setengah dari hak laki-laki.
Kelompok ini juga menolak keras gagasan persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan. Mereka berpegang bahwa perbedaan itu merupakan bagian dari keadilan Tuhan, demi kemaslahatan bersama. Pandangan semacam ini dianut oleh mayoritas umat Islam, dan kerap disebut sebagai pandangan konservatif.
Menariknya, dalam respons terhadap isu-isu gender kontemporer, kelompok konservatif ini pun tidak tunggal. Mereka terpolarisasi menjadi tiga corak: longgar, moderat, dan ekstrem. Pandangan yang lebih longgar, misalnya, kini mulai membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi hakim, kepala pemerintahan, bahkan presiden. []