Mubadalah.id – Islam Ideal mengapresiasi seksualitas sebagai fitrah manusia baik laki-laki maupun perempuan yang harus mereka kelola dengan sebaik-baiknya dan sehat.
Dalam bahasa agama ia adalah anugerah Tuhan. Islam tidak menganjurkan celibat dan asketisme. Hasrat seks harus terpenuhi sepanjang manusia membutuhkannya.
Meskipun demikian Islam hanya mengabsahkan hubungan seks melalui ritual perkawinan. Islam dengan begitu tidak membenarkan promiskuitas (seks bebas). Seluruh agama langit sepakat mengenai hal ini.
Satu ayat al-Qur’an yang sering kita kemukakan untuk menjawab bagaimana Islam memberikan apresiasinya terhadap seksualitas adalah:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ – ٢١
“Dan di antara bukti-bukti kemahabesaran Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan untuk kamu dari entitasmu sendiri pasangan, agar kamu menjadi tenteram dan Dia menjadikan di antara kamu saling mencinta dan merahmati. Hal itu seharusnya menjadi renungan bagi orang-orang yang berpikir” (QS. al Rum (30:21).
Tujuan Pernikahan
Ada sejumlah tujuan yang hendak laki-laki dan perempuan capai dari pernikahan ini. Pertama sebagai cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk memperoleh kenikmatan/kepuasan seksual.
Kedua merupakan ikhtiar manusia untuk melestarikan kehidupan manusia di bumi. Pernikahan dalam arti ini mengandung fungsi prokreasi sekaligus reproduksi.
Ketiga, menjadi wahana manusia menemukan tempat ketenangan dan keindahannya. Melalui perkawinan, kegelisaan dan kesusahan hati manusia mendapatkan salurannya.
Islam selanjutnya menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dalam relasi seksual adalah sama. Al-Qur’an menyatakan : “Hunna Libasun Lakum wa Antum Libasun lahunn” / mereka (istri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) pakaian bagi mereka (istri).” (QS. al-Baqarah (2:187).
Ibnu Jarir al Thabari, guru besar para ahli tafsir, mengemukakan sejumlah tafsir atas ayat ini. Pertama bahwa ia metafora untuk arti penyatuan dua tidak ada sebuah hadits pun yang secara eksplisit menunjukkan norma kebalikan ini. Pemahaman yang sederhana terhadap bunyi hadits ini menimbulkan sebuah persepsi umum bahwa Islam telah mereduksi hak seksual perempuan dan bersikap diskriminatif.
Dalam banyak kasus hadits tersebut dijadikan senjata bagi suami untuk mengaktualisasikan hasrat seksualnya tanpa kompromi istrinya. Pemahaman seperti ini tentu saja sangat simplistis dan konservatif. Ia juga tidak sejalan dengan ayat al-Qur’an yang sudah disebut di atas.
Pemahaman ini boleh jadi dilatarbalakangi oleh asumsi yang bias bahwa hasrat seksual perempuan lebih rendah dari laki-laki, sama halnya dengan asumsi yang dibangun untuk isu poligami. []