Mubadalah.id – Pernah dengar hadist yang menceritakan seorang istri yang ditinggal suaminya untuk berjihad kemudian ayah sang istri ini sakit tapi dia urung menjenguk ayahnya lantaran suaminya melarang dia keluar rumah, sehingga dia tidak mengantongi izin suami, kemudian dia mengirim seorang utusan untuk minta pendapat Nabi dan Nabi menyuruhnya untuk tetap mentaati suaminya, hingga akhirnya sampai ayahnya meninggal pun dia tetap tidak menjenguk orang tuanya. Pasti familiar kan?
Cukup sering nih dibawain hadistnya disampaikan dai dan ustadz pas ceramah, apalagi kalau jamaahnya ibu-ibu, duh berbekal hadist tersebut perempuan-perempuan zaman sekarang kesannya jauh sekali dari nilai shalehah, mbok jadinya kaya semua perempuan akhir zaman ini cuma jadi sumber fitnah dan rentan sekali dengan dosa, apalagi digadang-gadang sebagai mayoritas penghuni neraka terbanyak.
Lalu narasi yang seringkali didengungkan Islam datang mengangkat derajat perempuan karena dulu sebelum Islam datang, anak perempuan itu dikubur hidup-hidup, masa mengangkat derajatnya cuma dari ngebunuh jadi gak ngebunuh aja, seolah-olah bilang “kalau gak karena Islam belum tentu hidup lu.”
Islam datang membawa tauhid untuk membenahi logika dan keyakinan kita bahwa Tuhan itu Ada dan Dia Esa. Sehingga dari tauhid ini terdapat implikasi sosial, yang mana semakin orang bertauhid, maka akan semakin baik sosialnya. Kalau kita selama ini memperjuangkan kesetaraan, andai itu diawali dari membenahi tauhidnya dulu, maka kesetaraan itu akan tercipta dengan sendirinya.
Sebab kalau kita bertauhid, kita akan menganggap semua orang setara (sebagai hamba dari Sang Khalik), sehingga jika terjadi kezaliman dalam bentuk penindasan dan diskriminasi, berarti tauhidnya rusak. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan setara sebagai hamba dari Sang Khalik, keduanya mutlak milik Tuhan, BUKAN perempuan saat masih lajang milik orang tuanya kemudian saat sudah menikah lalu jadi milik suaminya, sehingga keduanya baik laki-laki maupun perempuan hanya berhak tunduk dan menghamba kepada Allah saja.
Alqur’an memberikan hak waris bagi perempuan dimana sebelumnya perempuan hanya dianggap objek yang posisinya sama dengan harta benda, kemudian menjadi subjek yang berhak menerima waris bahkan bisa mewariskan, ini kan simbol kesetaraan.
Lalu mengenai hadist tadi dari penjelasan guru saya Ustadz Ahmad Fajar, hadist tersebut dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Kemudian dari penjelasan beliau ada lagi riwayat yang menceritakan kalau sebenarnya si perempuan ini satu rumah dengan orang tuanya, dia di loteng, orang tuanya di bawah, jadi kalaupun hadist ini benar, tapi tidak masuk akal, bagaimana si istri ini beraktifitas kalau tidak boleh turun dari loteng, bahkan sekadar untuk menjenguk ayahnya.
Tapi ya sudahlah, hadist tersebut dhaif, tapi hadist dhaif sekalipun tetap dari Rasul kan, kita tetap menghormati keberadaan hadist tersebut. Walau yang terasa janggal bagi saya, kalau si istri ini punya seseorang yang bisa diutus sebagai penyambung lidahnya, kenapa dia malah minta pendapat Nabi? Kenapa tidak menyuruh utusannya untuk minta izin ke suaminya saja?
Selain itu kita juga tidak wajib kan menaati perintah orang tua atau suami yang bertentangan dengan syariat? Di sini konteksnya seorang anak yang mau menjenguk orang tuanya yang sedang sakit, dia bahkan tidak dilarang suaminya, hanya saja dia tidak punya akses untuk mendapat izin suaminya, pun dilarang suaminya, ya kan bertentangan dengan syariat, masa orang mau berbakti sama orang tua dilarang?
Tapi ya di zaman sekarang sudah gak relate juga lah kejadian seperti itu. Istri bisa dengan mudah minta izin ke suami lewat telpon atau chat. Pun kalau mau lebih sehat lagi ya di awal pernikahan sudah didiskusikan soal perizinan ini, misal istri dibebaskan mau kemana saja, tapi dilarang ke tempat-tempat tertentu yang sudah disepakati bersama, jadi gak perlu repot-repot masalah izin kedepannya.
Saya kira rumah tangga itu mestinya fleksibel lah ya, kalau tidak menyangkut hal-hal yang prinsipil ya gak perlu dibikin ribet lah, apalagi soal izin ini, kalau cuma mau jalan sama temen pas siang, pulang pas sore its oke lah, kenapa pada kaku banget sih orang-orang?
Tapi saya sepakat kalau istri wajib memprioritaskan suami dibanding orang tuanya, pun sebaliknya suami harus memprioritaskan istri dibanding orang tua, tapi bukan dalam konteks ketaatan, melainkan ketika orang tua mengintervensi rumah tangga mereka yang mana orang tua sebenarnya tidak berhak ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Karena jika menyangkut urusan rumah tangga, ya itu menjadi tanggung jawab bersama antar suami dan istri, karena yang menjalaninya berdua, bukan orang lain. []