Mubadalah.id – Isu-isu seksualitas perempuan dalam mazhab Syafi’i memperlihatkan pandangan moderasinya, tidak terlalu longgar tetapi tidak juga terlalu ketat. Ia menghargai logika rasional tetapi juga menghargai pandangan literal. NU adalah salah satu penganut utama mazhab ini.
Fakta-fakta kebudayaan dalam masyarakat NU menunjukkan bahwa kaum perempuan dapat bergerak dengan cukup bebas di ruangruang publik, meskipun terbatas. Ibu-ibu Nyai, misalnya, dapat bebas mengenakan pakaian kebaya dan kerudung dengan rambut yang nampak. Seperti yang biasa perempuan Hindu Bali kenakan.
Para ulama NU sepanjang sejarahnya tidak pernah menunjukkan sikap mencela atau menstigmatisasi perempuan-perempuan muslimah yang mengekspresikan dan mengaktualisasikan tubuhnya di ruang publik.
Apalagi menuduhnya sebagai perilaku yang sesat dan tidak Islami. Sejak awal kemerdekaan sejumlah perempuan muslimah NU terlibat dalam proses politik, ekonomi maupun sosial.
Stigmatisasi atas seksualitas perempuan muncul belakang, menyusul lahirnya kelompok-kelompok Islam fundamentalis dalam beberapa waktu terakhir ini.
Isu jilbabisasi adalah isu pertama yang mencuat. Kemudian isu-isu perempuan yang lain. Isu paling menyolok dan fenomenal adalah pornografi dan pornoaksi serta perda-perda kesusilaan. Semua isu ini ingin diserahkan dan ditangani hegara dengan mendesakkan wacana keagamaan konservatif.
Wacana keagamaan yang diusung gerakan fundamentalisme (sering juga dikatakan Islam garis keras) ini, secara umum, mengambil basis dan teori keagamaan ala Islam Saudi Arabia yang memiliki kecenderungan kuat membatasi seksualitas perempuan jauh lebih ketat. Bahkan skriptual dan konservatif daripada aliran Islam Syafi’i dan aliran fiqh yang lain. []