Mubadalah.id – Kesehatan mental selain karena pengaruh genetik juga dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola asuh atau parenting. Sebagai penyintas gangguan mental dan kebanyakan penyintas lainnya pasti memiliki kekhawatiran yang sama. “apa aku dapat pulih? Apa aku akan ketergantungan obat selamanya?”
Pertanyaan yang hanya dapat dijawab dengan pengalaman berproses penyintas yang sudah melalui fase benar-benar stabil setelah mengikuti anjuran profesional. Bahkan ucapan profesional seperti psikiater pun akan terasa seperti omong kosong bagi pengindap gangguan mental yang masih berada pada kondisi down atau tidak stabil.
Tantangan dalam Pemulihan Gangguan Mental
Proses paling sulit dalam pemulihan penyintas gangguan mental dalam kondisi tidak stabil adalah meyakinkan penyintas bahwa obat adalah bagian terpenting dalam proses mempercepat pemulihan. Belum lagi cara pandang kebanyakan masyarakat yang memiliki pola pikir bahwa obat dapat membuat ketergantungan.
Ketergantungan obat menjadi mitos yang sering menghantui penyintas gangguan mental. Banyak orang mengira bahwa mengonsumsi obat psikiatri akan membuat mereka ketergantungan terhadap obat tersebut.
Padahal, obat-obatan psikiatri dirancang untuk membantu menyeimbangkan kimia otak. Menurut American Psychiatric Association (APA), obat-obatan seperti antidepresan atau antiansietas bekerja dengan cara memulihkan fungsi otak yang terganggu, sehingga penyintas bisa lebih mudah menjalani terapi dan aktivitas sehari-hari.
Tentu, penggunaan obat harus di bawah pengawasan psikiater. Penting untuk diingat bahwa obat adalah bagian dari pendekatan holistik yang mencakup terapi, dukungan sosial, dan perawatan diri. Dengan pemahaman yang tepat, obat bisa menjadi alat yang membantu penyintas untuk segera pulih.
Selain itu yang menjadi tantangan dalam penanganan gangguan mental adalah stigma terhadap gangguan mental. Masih banyak masyarakat menganggap gangguan mental bukan penyakit medis yang memerlukan penanganan profesional. Akibatnya kebanyakan orang enggan mencari bantuan profesional karena khawatir akan mengalami pengucilan.
Stigma ini tidak hanya merugikan penyintas, tapi juga menghambat upaya pencegahan dan edukasi. Padahal, gangguan mental dapat menimpa siapa saja, tanpa memandang usia, gender, atau status sosial. Remaja dan dewasa muda adalah kelompok yang rentan mengalami gangguan mental.
Data UNICEF (2021) menyebutkan bahwa 1 dari 7 remaja usia 10-19 tahun hidup dengan gangguan mental, dengan depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku sebagai kondisi yang paling umum.
Gangguan Mental: Bukan Sekadar “Sedih” atau “Stres”
Menurut data WHO (2023), 1 dari 8 orang di dunia hidup dengan gangguan mental dan angka ini terus meningkat pascapandemi COVID-19. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional seperti depresi dan kecemasan mencapai 9,8% dari total populasi. Artinya, jutaan orang di sekitar kita mungkin sedang berjuang dalam diam.
Gangguan mental khususnya depresi sering disalahpahami sebagai perasaan sedih atau stres biasa. Padahal, kondisi ini jauh lebih kompleks. Fase ini tidak hanya ditandai dengan kesedihan, tapi juga kehilangan minat, energi, dan kemampuan untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Data WHO menyebutkan bahwa depresi adalah penyebab utama disabilitas di dunia, dan lebih dari 700.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya, sebagian besar terpicu oleh gangguan mental yang tidak tertangani.
Fase depresi menjadi fase paling berat bagi siapapun yang mengalaminya. Hidup terasa benar benar hampa dan menakutkan, takut menantap satu detik yang akan datang. Bahkan tidak memiliki energi untuk bangkit dari tempat tidur. Entah mengapa semuanya terasa gelap, rasanya tidak ada solusi dari setiap permasalahan hidup. Walau masalahnya sangat sepele. Semuanya terasa berat untuk tetap melanjutkan hidup.
Selain depresi, gangguan kecemasan (anxiety disorder) juga menjadi masalah serius. Di Amerika Serikat, 19,1% populasi dewasa mengalami gangguan kecemasan setiap tahun (ADAA, 2023). Sementara di Indonesia, stigma dan kurangnya akses layanan kesehatan mental membuat banyak kasus tidak terdiagnosis. Padahal, gangguan mental yang tidak tertangani dapat berdampak pada penurunan produktivitas, masalah hubungan sosial, bahkan risiko bunuh diri.
Pengalaman Menjadi Penyintas
pernah suatu ketika aku baru-baru mengkonsumsi obat dari psikiater, aku sempat berpikir “kalau terus-terusan minum obat pastinya akan ketergantungan.” Cara pandang ini juga mendapat validasi dari keluarga dan kenalan. Mereka memberi pendapat serupa dan membuatku semakin yakin akan ketergantungan obat-obatan.
Hal ini membuatku sering putus nyambung obat. Sehingga obat tidak berpengaruh dalam proses pemulihan dan kondisi semakin memburuk. Akibatnya sulit mencari obat yang sesuai karena obat belum beradaptasi dengan kondisi tubuh tapi sudah ganti.
Dua tahun lamanya mengkonsumsi obat dengan keadaan putus nyambung putus akhirnya menyebabkan kondisi psikologisku memburuk. Pada akhirnya berujung percobaan-percobaan ingin mengakhiri hidup. Putus nyambung obat juga bukan tanpa alasan. Selain karena masih berkeyakinan obat dapat membuat ketergantungan. Alasan lainnya saat itu belum menggunakan BPJS dan harga obatnya juga sangat mahal.
Obat Membantu Pulih Lebih Cepat
Setelah insiden percobaan mengakhiri hidup itu gagal, aku kembali menemui psikiater tentunya dengan memanfaatkan BPJS. Saat itulah aku mendapat banyak insight mengenai cara kerja obat sehingga aku mulai memahami dan percaya pada dokter jiwa. Untuk pertama kalinya. aku mulai menjalani pengobatan yang teratur. Benar saja setelah mengikuti arahan profesional, mengkonsumsi obat yang teratur kondisiku benar-benar stabil dan normal.
Kondisi ini adalah kondisi di mana tidak pernah terbayangkan akan sampai pada titik di mana aku mampu melewati berbagai hal yang aku rasa tidak akan pernah beranjak. Dengan pencapaian terbaik mampu melewati fase depresi. hingga sedikit demi sedikit bisa kembali menata arah yang sebelumnya tak pernah aku tahu akan kemana. Aku mampu kembali menata tujuan dan harapan.
Setidaknya itulah gambaran perasaan yang aku rasa setelah mengkonsumsi obat dengan teratur. fase ini menjadi masa terbaik yang pernahku alami pasca mengalami depresi. merasa terlahir kembali dan dapat hidup dengan ketenangan jiwa yang belum pernah aku rasa sebelumnya.
Proses pemulihan dari gangguan mental bukanlah perjalanan yang mudah. Ada hari-hari di mana kita merasa kuat, tapi ada juga saat-saat di mana kita terjatuh kembali. Namun, penting untuk diingat bahwa kemunduran bukanlah kegagalan.
Menurut National Institute of Mental Health (NIMH), 50-70% orang dengan gangguan mental bisa mencapai pemulihan signifikan dengan kombinasi terapi, dukungan sosial, dan pengobatan yang tepat. Artinya akses ke layanan kesehatan mental menjadi kunci dalam proses pemulihan.
Sayangnya, di Indonesia, rasio tenaga kesehatan mental masih sangat rendah. Data Kemenkes (2022) menunjukkan bahwa hanya ada 0,29 psikolog dan 0,04 psikiater per 100.000 penduduk. Artinya, masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Mengenal Diri: Langkah Awal Pemulihan
Selain penanganan medis, salah satu upaya penting dalam pemulihan adalah mengenal diri sendiri lebih dalam. Gangguan mental seringkali membuat kita kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Apa yang kita rasakan, apa yang kita butuhkan, dan apa yang membuat kita bahagia. Proses mengenal diri ini bisa dimulai dengan mengidentifikasi pemicu stres, mengenali pola pikir negatif, dan mempelajari cara mengelola emosi.
Teknik seperti mindfulness dan journaling bisa menjadi alat yang efektif untuk memahami kondisi psikologis diri sendiri. Misalnya, dengan menulis jurnal, kita bisa melacak perubahan mood, mengenali situasi yang memicu kecemasan, dan merencanakan strategi untuk menghadapinya. Menurut penelitian yang terbit dalam Journal of Clinical Psychology (2020), praktik mindfulness terbukti mengurangi gejala depresi dan kecemasan pada 60% partisipan.
Berdamai dengan gangguan mental bukan berarti melupakannya atau menghilangkan sepenuhnya. Ini adalah proses belajar hidup berdampingan dengan kondisi tersebut, sambil terus merawat diri dan mencari makna dalam hidup. Seperti kata psikolog Carl Jung, “I am not what happened to me, I am what I choose to become.” Pemulihan adalah tentang memilih untuk terus berjalan, meski langkahnya berat.
Pemulihan mungkin tidak mudah, tapi setiap langkah sekecil apa pun adalah kemenangan. Seperti pelangi setelah hujan, pulih adalah tentang menemukan cahaya di balik awan gelap. Mari bersama-sama menciptakan dunia yang lebih ramah bagi kesehatan mental, mulai dari diri kita sendiri. []