• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Janji Manis Taliban untuk Perempuan Afganistan: Antara Jaminan dan Harapan

Hosna Jalil, mantan menteri urusan perempuan Afganistan menyebutkan bahwa kembalinya Taliban adalah berita buruk bagi seluruh perempuan di Afganistan. Ancaman domestikasi, diskriminasi, alienasi perempuan secara struktural seperti yang dilakukan Taliban pra 2001 terbayang jelas di depan mata

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
23/08/2021
in Publik
0
Taliban

Taliban

154
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Keberhasilan Taliban dalam merebut kembali pemerintahan Afganistan beberapa hari yang lalu menuai pro dan kontra. Pihak yang kontra salah satunya datang dari kelompok perempuan. Ialah Hosna Jalil, mantan menteri urusan perempuan Afganistan menyebutkan bahwa kembalinya Taliban adalah berita buruk bagi seluruh perempuan di Afganistan. Ancaman domestikasi, diskriminasi, alienasi perempuan secara struktural seperti yang dilakukan Taliban pra 2001 terbayang jelas di depan mata.

Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan oleh Zarifa Ghafari, walikota pertama perempuan di Afganistan tepatnya di Maidan Shahr. Dengan tegas menyatakan bahwa dirinya hanya menunggu eksekusi dari Taliban. Berdasarkan pemahaman fikih literalis dan narasi ekstrimis sebagaimana diyakini oleh Taliban, perempuan tidak layak untuk menjadi pemimpin. Maka Zarifa Ghafari telah melanggar syariat sebagaimana Taliban yakini. Ia tak punya pilihan kecuali hanya berdiam diri di rumah karena tidak bisa meninggalkan Afganistan.

Sedangkan pihak yang pro datang dari beberapa pakar Kajian Timur Tengah  di Indonesia. Abdul Muta’ali menyatakan bahwa kembalinya Taliban di Afganistan adalah angin segar bagi perjuangan indepedensi Afganistan. Setelah hampir 20 tahun disetir oleh Amerika, Afganistan tak lagi menjadi negara boneka Amerika. Dan berdaulat penuh untuk menentukan kebijakan negaranya.

Perempuan di era Taliban 1996-2001

Kekhawatiran Hosna Jalil dan Zarifa Ghafari tentunya bukan tanpa alasan. Kebijakan Taliban pra 2001 sangat diskriminatif dan kejam bagi perempuan. Mereka menjadi tawanan bahkan dirumahnya sendiri, kemerdekaannya sebagai manusia dikebiri, kebebasan bersuara dibungkam, dan dilarang untuk mengambil peran di ruang publik. Bahkan tak ada sekolah yang diperuntukkan bagi perempuan.

Baca Juga:

Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

Tak hanya haknya saja yang dirampas, namun preferensi busanapun tak lepas dari represi Taliban. Semua perempuan wajib menggunakan burqa khas Afganistan yang disebut chandri. Pakaian panjang yang menjuntai ke tanah, dengan topi yang menutupi bagian kepala dan muka. Saluran pernafasannya hanya melalui lubang-lubang kecil di kain penutup di sekitar mata dan hidung.

Perempuan juga tak diperbolehkan keluar rumah tanpa disertai muhrim. Perempuan juga dilarang berjalan cepat dan berbicara dengan suara keras. Jika tertangkap melanggar aturan tersebut ia akan mendapatkan sanksi. Tak segan-segan, sanksi fisik pun didapatkan demi menunjukkan superioritas mereka.

Kebijakan diskriminatif ini lahir dari pemahaman narasi ekstrimis Taliban yang tekstual. Dengan dalih menegakkan syariat Islam untuk membentuk kebijakan pemerintahan, maka segala kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam segera disingkirkan. Bukan Islamnya yang salah, namun penafsiran dan pemahaman agama yang patriarkis telah membentuk relasi kekuasaan dan subordinatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan penegakan syariat Islam. Perempuan hanya dipahami sebagai bagian dari laki-laki, dan termarjinalisasi secara struktural.

Kebijakan yang dikriminatif ini pada akhirnya mendapatkan kecaman dari dunia. Dewan Keamanan PBB menyatakan kebijakan Taliban melanggar Hak Asasi Manusia. Maka pada 7 Oktober 2001, Amerika Serikat meluncurkan operasi di Afganistan dan berhasil melengserkan Taliban dari kursi pemerintahan.

Setelah itu, Afganistan menjadi negara yang amat bergantung dengan Amerika. Segala sikap dan nasib Afganistan syarat akan intervensi bangsa asing. Ketergantungan selama hampir 20 tahun ini menjadikan Afganistan sebagai negara yang semakin melemah dari waktu ke waktu.

Taliban dan harapan baru untuk perempuan

Traumatis dan ketakutan rakyat Afganistan atas keberhasilan Taliban dalam menduduki pemerintahan di 2021 ini dijawab secara tegas oleh juru bicara Taliban. Melalui konferensi pers yang dilakukan pada 17 Agustus 2021 lalu, Zabiullah Mujahid meyakinkan publik bahwa Taliban telah berubah menjadi sebuah ideologi yang moderat. Ia juga mengumumkan amnesti bagi seluruh masyarakat Afganistan. Maka diharapkan tak ada lagi masyarakat yang ketakutan dan meninggalkan Afganistan.

Perempuan juga diizinkan untuk menduduki kursi pemerintahan, menuntut ilmu dan mengenyam pendidikan formal sesuai dengan norma yang diajarkan Islam. Ia menegaskan bahwa dalam upaya membangun pemerintahan yang islami, kuat dan inklusif dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak salah satunya adalah perempuan. Tak akan ada domestikasi perempuan, dan akan menjamin kebebasan perempuan dalam menentukan pilihannya.

Bagaimanapun penguasaan Taliban atas Afganistan ini memang bersifat ambivalen. Di satu sisi bernilai positif karena membebaskan Afganistan dari negara boneka Amerika dan berdaulat penuh sebagai sebuah negara. Namun dalam waktu yang sama juga bernilai negatif mengingat pemerintahan Taliban pra 2001 sangat diskriminatif terhadap kebebasan masyarakat khususnya bagi perempuan.

Namun melihat bagaimana kiprah Taliban pasca 2001, dimana gerakannya lebih manusiawi dan menjauhi aksi-aksi ekstrimisme tampaknya menjadi sebuah harapan baru. Ditambah lagi dengan komitmen Taliban atas pemenuhan hak-hak perempuan sebagaimana dinyatakan dalam konferensi pers. Meskipun bukan sebuah jaminan karena memang bukan sebuah kesepakatan tertulis, namun ada harapan yang layak untuk disematkan.

Harapan akan berdirinya sebuah negara Islam yang memiliki keadilan gender, non diskriminatif, dan mampu menampilkan wajah Islam yang damai, rahmatan lil alamain, yang menghargai perempuan sebagaimana manusia ingin dihargai seperti gender yang lainnya. Bukan Islam ekstrimis, tekstualis, dan radikal yang mengatasnamakan tindakan represif atas nama agama. Dan tentunya kita semua berharap, apa yang terjadi pada perempuan pra 2001 di Afganistan, hanya menjadi sejarah yang tak akan terulang. []

 

Tags: AfganistanislamPeradaban DuniaPerang DuniaperempuanPolitik GlobalSyariat IslamTaliban
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj. Biyati Ahwarumi

    Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version