Mubadalah.id – Sejak 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebegai peringatan Hari Santri Nasional. Peringatan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.
Peringatan ini tentunya disambut baik oleh masyarakat luas mengingat jumlah santri di Indonesia yang tak sedikit jumlahnya. Di mana secara historis memang kemerdekaan bangsa ini dapat kita raih tak lepas dari kontribusi besar para santri. Tahun ini peringatan hari santri mengusung tema “Jihad Santri Jayakan Negeri”. Lalu, di tengah kehidupan merdeka seperti sekarang ini, jihad apa yang bisa santri lakukan?
Sebagaimana yang menteri agama (menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas sampaikan dalam acara launching logo hari santri nasional di Kemenag. Bahwasannya melalui tema yang dibawa “Jihad Santri Jayakan Negeri”, maksudnya agar para santri terus berjuang membangun kejayaan negeri dengan semangat jihad intelektual di era transformasi digital.
Makna Jihad
Jihad sendiri memiliki makna yang begitu luas. Tak terbatas dalam perjuangan mengangkat senjata. Lebih dari itu, jihad adalah senantiasa berbuat kebaikan dan berperang melawan nafsu diri sendiri, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Ankabut ayat 8-9 :
“Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, pasti akan Kami hapus kesalahan-kesalahannya dan mereka pasti akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”.
Melalui ayat tersebut Allah menekankan bahwa makna jihad adalah ketika seorang hamba bersungguh-sungguh mencurahkan segala kemampuannya demi melaksanakan amal saleh. Kemudian berlomba-lomba dalam kebaikan.
Maksud jihad yang dalam tema yang pemerintah usung tahun ini memang berdasarkan pada dua makna. Yakni makna historikal dan makna kontekstual. Seperti yang kita tahu, 22 Oktober dipilih sebagai hari santri untuk mengenang resolusi jihad yang pencetusnya adalah KH. Hasyim Asy’ari yakni hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Mengenal Resolusi Jihad
Resolusi jihad tersebut menegaskan bahwa berjuang mengusir penjajah hukumnya fardlu ’ain. Yakni tiap individu muslim wajib ikut berjuang dalam radius 94 kilometer dari tempat musuh dan dihukumi fardlu kifayah, atau boleh diwakili oleh sebagian lainnya ketika di luar radius tersebut.
Dengan adanya fatwa tersebut, maka para santri bersama warga di Surabaya yang ada di sana turut patuh terhadap perintah kyai yang menjadi guru dan panutan. Para santri melawan tentara Sekutu mulai 25 Oktober 1945. Lalu sampai pada puncaknya tanggal 10 November 1945, yang tentunya diwarnai dengan gugurnya ribuan pejuang syahid dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kontribusi para santri juga tercatat dalam perjuangan mengusir Belanda dalam Perang Diponegoro yang begitu besar kala itu. Pada intinya, kontribusi para santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara ini mengambil andil yang cukup besar bahkan rela mempertaruhkan nyawa.
Lalu secara makna kontekstual, jihad santri di masa pasca kemerdekaan seperti saat ini sesungguhnya tak pernah terhenti. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwasanya jihad tak hanya terbatas pada perjuangan fisik. Namun jihad adalah segala upaya untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Jihad dalam wujud perjuangan non-fisik yang kita hadapi saat ini meliputi berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, maupun lingkungan. Sebagaimana pesan menteri agama Ri, Yaqut Cholil Qoumas, bahwasanya Jihad santri secara kontekstual adalah jihad intelektual. Di mana para santri adalah para pejuang dalam melawan kebodohan dan ketertinggalan.
Harapan terhadap Santri
Dalam tradisi Islam, jihad intelektual adalah cara untuk membela nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan pengetahuan. Berbekal buku sebagai senjata dan pena sebagai tongkat kebijaksanaan, para santri kita harapkan dapat menjadi teladan dalam menjalani jihad ini. Yakni dalam hal memperdalam ilmu dan menyebarkan cahaya pengetahuan.
Santri kita harapkan tak hanya menguasai ilmu agama saja, namun juga mampu mengintegrasikan dan menyeimbangkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Terutama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.
Apalagi belakangan ini sedang ramai berbagai isu perselisihan, radikalisme, dan intoleransi, maka santri kita harapkan pula untuk mampu menjadi duta perdamaian, perekat persaudaraan dan persatuan di tengah keragaman. Sebagaimana pesan KH Said Aqil Siradj, “santri harus menjadi pembawa rahmat bagi semesta.” []