Mubadalah.id – Amina Wadud menulis sebuah buku yang monumental berjudul Quran and Women. Buku ini merupakan ekspresi kegelisahan intelektualnya mengenai hak-hak asasi perempuan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat.
Ia menganalisis secara kritis dan berani tentang problem diskriminasi gender ini. Ia berpendapat bahwa faktor utama persoalan ini ialah kuatnya pengaruh ideologi dan doktrin patriarkisme dalam tafsir al-Qur’an.
Dalam buku tersebut, ia mencoba untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang syarat dengan bias patriarki, bahkan sebagian di antaranya bersifat misoginis.
Amina Wadud menggunakan prinsip umum al-Qur’an dalam rangka mengkontekstualisasikan al-Qur’an dengan problem yang dihadapi (contoh problem gender) dengan cara memahami al-Qur’an secara holistik, tidak parsial.
Menurutnya, al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt yang turun sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang masyarakat hadapi. Seluruh isu partikular ialah kontekstual, dan yang tetap serta abadi ialah prinsip umumnya yang antara lain ialah kesetaraan dan keadilan.
Amina Wadud berharap bahwa melalui metode holistik ini akan dihasilkan keputusan-keputusan yang selalu sejalan dengan perkembangan zaman atau dalam bahasa yang populer “shalihah likulli zaman wa makan”.
Imam Shalat bagi Jamaah Laki-Laki dan Perempuan
Amina Wadud, tokoh perempuan ulama ini, mengambil langkah kontroversial saat ia menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki dan perempuan.
Peristiwa ini terjadi pada 2005. Ia menjadi imam shalat Jum’at di sebuah bangunan gereja Anglikan, New York. Shalat tersebut diikuti lebih dari seratus pria dan wanita. Ia menjadi khatib sekaligus imam.
Akibatnya, ia mendapatkan stigma buruk. Ia caci-maki, disumpah-serapahi dan dikutuk oleh banyak pihak di seluruh dunia. Karakter Amina dibunuh. Namun, ia tetap berjalan membela temuan ilmiahnya.
Ketua Dewan Fatwa Eropa dan Ketua Persatuan Ulama Sedunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, mengecam tindakan Amina Wadud tersebut. Bahkan, ia menganggap tindakan tersebut sebagai suatu penyimpangan dalam agama. Sementara itu, di Indonesia, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI akhirnya mengeluarkan fatwa mengenai hal tersebut. Bunyi fatwanya ialah:
“Dengan bertawakkal kepada Allah Swt., MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki, hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.” Fatwa ini mereka tetapkan di Jakarta pada 21 Jumadil Akhir 1426 H atau bertepatan dengan 28 Juli 2005 M.
Amina Wadud bukan tanpa argumen keagamaan ketika mengambil langkah menjadi imam shalat tersebut, sebagaimana mereka tuduh dan mengecamnya.
Kemudian, ia mengambil dasar legitimasi hadits Ummi Waraqah yang ia pandang memiliki tingkat validitas yang lebih kuat daripada hadits yang melarangnya. Kualitas individulah yang menjadi ukuran seseorang menjadi pemimpin, bukan jenis kelamin. []