Mubadalah.id – Ketika ada kasus Argo UGM, di mana kecelakaan yang korbannya kaum alit, dan penabraknya sosok elite, di situ saya sedih, lalu mikir. Apakah bakal ada keadilan untuk si korban? Sebab, berkali-kali kita dihantam realitas yang bikin kita geleng-geleng kepala, sebuah kenyataan yang tak berpihak pada korban. Yang membuat kita kemudian bertanya-tanya: “Mau sampai kapan nunggu viral dulu baru diusut?”
Pertanyaan itu saya ajukan bukan untuk kaum alit, tapi untuk elite, spesifik kaum polisi. Lembaga yang seharusnya menjadi penegak hukum dan keamanan warga, justru menjadi kalangan berseragam yang tidak hanya dibenci masyarakat, tapi juga tidak masyarakat percayai.
Lha bagaimana? Wong masyarakat ketika butuh pertolongan yang seharusnya minta tolongnya ke polisi, malah minta bantuannya ke Damkar.
“Saya nggak setuju, nyatanya masih banyak kok polisi yang baik hati, yang suka menolong warga, misal saat menyeberang jalan, saat dibegal, saat warga kehilangan barang, dan lain-lain,” ujar seorang teman, dengan sangat menggebu-gebu, seolah ingin membela kaum berseragam coklat-coklat itu.
Betul, tidak semua polisi jahat. Ada pula yang baik hati. Tapi, coba kita bandingkan dua aspek tersebut. Yang jahat dan baik. Saya memang belum menemukan data yang menunjukan jumlah polisi yang baik dan jahat. Namun, kita coba pakai hasil survei “profesi yang paling tidak dipercaya publik”. Polisi dengan angka 41%, ,menempati urutan ketiga setelah politisi dan pejabat kementerian.
Hasil survei Ipsos, sebuah perusahaan riset pasar global itu, menunjukkan bahwa masyarakat sudah muak dengan polisi. Bahkan, beberapa orang tua mengatakan, “boleh jadi apapun, asal jangan jadi polisi”. Itu disampaikan kepada anaknya. Padahal, dulu, ketika guru bertanya di sekolah, banyak anak bercita-cita jadi polisi. Saya nggak tahu, apakah di era kini, masih banyak anak SD yang bermimpi jadi polisi.
Kematian Argo di Tangan Mahasiswa UGM
Tentu ada alasan kenapa tak sedikit masyarakat membenci polisi. Dan alasan itu yang kita sudah paham. Selain suka merazia kendaraan yang ujung-ujungnya ‘minta duit’, lapor harus pakai duit. Selain itu juga dalam beberapa (banyak) kasus, polisi lamban menanganinya. Kaum bersenjata pistol itu nunggu kasus viral dulu baru mau menindak.
Belakangan, rumus “viral dulu baru diusut” dipakai untuk mengurus kasus tewasnya mahasiswa FH UGM Argo Ericko Achfandi (19 tahun). Argo yang menaiki Honda Vario meregang nyawa setelah tertabrak mobil BMW yang pengemudinya Christiano (21) mahasiswa FEB UGM. Kejadiannya pada Sabtu (24/5) dini hari di Jalan Palagan, Ngaglik, Sleman.
Sejumlah pengguna jalan menduga bahwa Cristiano mengemudi dalam keadaan mabuk. Meski begitu, Polres Sleman membantah tudingan tersebut setelah hasil tes urin menunjukkan Christiano negatif alkohol dan narkoba. Namun, publik tetap meminta polisi untuk usut tuntas kasus ini dan menegakkan keadilan untuk kasus Argo.
Sebab, dalam kasus Argo ini, ada kesenjangan sosial. Argo adalah kaum alit, sementara Christiano, bisa kita katakan adalah manusia golongan kelas atas. Beberapa sumber menyebutkan, Christiano adalah anak dari Setia Budi Tarigan, sosok penting di dunia keuangan dan otomotif Indonesia. Ayahnya menjabat sebagai Operational Director di FIF Group, sebuah perusahaan pembiayaan otomotif ternama.
Dari kelas sosial saja sudah menunjukkan adanya ketimpangan. Saya, dan mungkin publik khawatir, ketimpangan ini akan terus berlanjut pada proses hukum. Bahwa hukum kerap tumpul ke atas, tajam ke bawah. Orang kaya, dengan segudang harta kemewahannya, akan dengan mudah beraksi melalui lobi-lobi ke aparat penegak hukum. Tujuannya supaya anaknya tidak masuk penjara, dan lain sebagainya.
Penetapan Tersangka
Sampai artikel ini saya tulis, polisi pada Selasa (27/5) memang telah menaikkan status perkara dan menetapkan Christiano sebagai tersangka. Status penetapan tersangka ini diputuskan empat hari pasca kejadian, dan tentu saja nunggu viral dulu, usai publik ramai-ramai memasang tagar #JusticeForArgo. Akan tetapi, meski sudah menetapkan Christiano sebagai tersangka, polisi belum menahan sang pelaku.
Status sosial yang Christiano sandang dianggap publik berpengaruh terhadap tidak tertahannya tersangka. Kini publik hanya bisa berharap, Argo mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Aparat penegak hukum dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan sejujur-jujurnya. Argo mendapat keadilan, sementara sang pelaku terhukum seberat-beratnya. Itu harapan kita semua bukan?
Tapi, sebesar-besarnya harapan yang kita panjatkan, ada kekecewaan besar pula yang selalu kita rasakan, bukan?
Ketika kita sangat mendambakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, ada rasa cemas dan takut yang kerap menghujani perasaan kita. Bukan karena cemas bakal tidak mendapat daging qurban di hari raya nanti. Melainkan cemas melihat perilaku-perilaku aparat penegak hukum, dan para pejabat publik, yang tak bisa menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.
Viral Dulu, Diproses Kemudian
Kasus Argo yang baru tertangani setelah nunggu viral dulu, mengingatkan kita akan kejadian serupa di masa lalu. Tercatat, ada banyak kasus yang penegak hukum baru memproses pasca geger di medsos dulu. Saya sebutkan di antaranya yang masih ingat, kasus pembunuhan Vina Cirebon. Lalu kasus pembunuhan Afif Maulana dan kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Utara; serta sederet kasus lainnya.
Fenomena no viral no justice tentu mencoreng nama baik Polri. Sekaligus menggerus kepercayaan publik pada Korps Bhayangkara. Saya yakin, fenomena no viral no justice masih akan terus ada sampai kapan pun jika tidak ada perubahan yang signifikan di tubuh lembaga ini. Sampai Raffi Ahmad jadi presiden pun, publik tak akan percaya kepada polri jika yang dipikiran mereka hanya soal mengisi perut agar tidak kelaparan.
Akhir cerita, Polri harus berubah agar lebih profesional dan berorientasi pada pelayanan publik. Kualitas SDM perlu mereka tingkatkan, perbaikan sistem kerja, dan pembenahan budaya organisasi. Perubahan juga kita perlukan untuk mengoptimalkan kepercayaan masyarakat dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Semoga kinerja polri dan aparat penegak hukum lainnya di Indonesia, semakin baik dan progresif. Selain itu mengutamakan integritas, dan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat tertindas.
Hanya Ada 3 Polisi Jujur
Btw ngomongin polisi, saya tiba-tiba jadi ingat Gus Dur. Menurut Gus Dur, hanya ada tiga polisi yang jujur. Pak Hoegeng (Kapolri 1968-1971), patung polisi, dan polisi tidur. Itu celotehan. Namun, tentu saja ada makna di balik setiap guyonan sang mantan presiden, yang tentu berdasarkan fakta dan realitas yang terjadi.
Pernyataan Gus Dur tersebut tentunya masih akan sangat relevan, dalam beberapa tahun mendatang jika Polri tidak berbenah dalam banyak aspek. Tentu saja untuk melakukan perubahan itu perlu dukungan dari sistem pemerintahan dan budaya korupsi salah satunya, yang menjadi akar keburukan, perlu kita tumpas sedalam-dalamnya.
Polri dan lembaga apa pun, yang kinerjanya tidak pernah memuaskan publik, saya kira perlu membaca dan memahami Al-Quran Surat Ar-Ra’d ayat 11, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” []